“Bolehkah aku menunggumu.”
Tetes air mata mengalir
di pipi mungil Catherine. Matanya terkatup tak mampu menahan sakit di hatinya.
"No, don't do
that. Aku udah bilang aku mau pindah sekolah. Sekalian nanti High School
juga disana," dengan tenang Mike menjawab seperti tak ada kesedihan
dihatinya.
Sudah satu tahun ini
mereka pacaran. Sudah satu tahun ini pula Catherine merasa menjadi cewe paling
bahagia bisa bersama Mike. Tapi, sudah tiga minggu ini Mike tak pernah datang
ke rumahnya. Sms yang dikirim Catherine pun jarang dibalas. Bahkan di sekolah,
Mike lebih suka berkumpul dengan teman-temannya.
Akhirnya saatnya tiba.
Ya, saat untuk bertemu berdua disamping sekolah saat acara pentas seni.
Catherine menanyakan tentang hubungan mereka. Namun, jawaban Mike benar-benar
membuat Catherine terluka. Mike sudah tidak
menyayanginya. Bahkan dia pun berkata kalau dia ingin melupakan kisah mereka.
"Aku masih ingin
menunggumu," dengan lirih Catherine mengucapkannya setelah sejenak mereka
terdiam.
"Hah, four
years? No, empat tahun terlalu lama. Aku juga mau fokus sama
belajarku," ucap Mike.
Catherine kembali
terisak. Dia percaya masih bisa menunggu empat tahun lagi. Lagipula
Jakarta-Sidney tidak begitu jauh. Mungkin dia akan mengumpulkan tabungannya
untuk bisa kesana.
Mike terdiam. Catherine
hanya bisa terisak. Haruskah semuanya berakhir malam ini? Saat teman-teman
menikmati konser dan bersenang-senang.
Musik menderu dari band
penutup, dan Catherine pun makin sayu. Dilihatnya beberapa anak yang sudah
keluar sekolah karena hari sudah malam.
"Mike, cabut yuk.
Dah kelar neh acaranya," Daniel, teman sekelas Mike, menghampiri mereka.
Catherine hanya terdiam menatap Daniel, seakan mau berkata kalau dia tidak
ingin Mike pulang lebih dulu.
"Oh, ada Catherine
ya. Ya udah, gua pulang duluan aja. Gua nebeng Kris aja," Daniel pun
sepertinya mengerti apa yang dikhawatirkan Catherine dan tak mau mengganggu
mereka berdua. Dia pun meninggalkan mereka menuju ke tempat parkir.
"Daniel, tunggu.
Gua juga cabut sekarang," Mike pun beranjak dari duduknya, tanpa menoleh
kearah Catherine. Catherine hanya bisa terpaku melihat kenyataan itu. Dia
memandang kepergian Mike dengan mata berlinang. Ditinggalkan. Diabaikan. Hampa.
"Neng
Katrin," Pak Agus, supir yang sejak jam sepuluh tadi menunggu,
mengejutkannya.
"Eh, iya Pak, ada
apa?" Catherine mengusap air matanya dengan tissue yang tinggal satu
lembar.
"Sudah jam
sebelas, Neng. Papa Neng Katrin bilang sampai rumah tidak boleh lebih dari jam
sebelas."
"Eh, ya, pak. Ntar
aku yang bilang ke Papa."
Malam itu Catherine
sama sekali tak bisa tidur. Matanya bengkak. Berkali-kali dia mencoba menelepon
Mike, tapi nomor-nomor handphone nya tidak ada yang aktif. Jam dua pagi,
Catherine mencoba menghubungi nomor rumahnya. Terang saja tidak ada yang
mengangkat di pagi buta seperti itu.
"Tuhan, kenapa
seperti ini. Sakit. Sakit rasanya."
Catherine terpaku di
sudut kamarnya. Terduduk menatap langit-langit yang gelap. Suram.
"Catherine. Dah
bangun belum?"
"Eh, udah, ma,"
Catherine terjaga. Ternyata dia sempat terlelap beberapa saat. Sinar mentari
melewati jendela, menghangatkan kepalanya. Ya, dia masih terduduk disudut
ruangan.
"Catherine, mama
sama papa mau ke rumah Tante Sisca dulu ya. Nanti kalau mau sarapan, bikin sandwich aja ya," terdengar langkah mamanya di luar
kamar.
"Mike."
Catherine mengambil
handphone yang terlepas dari tangannya. Jarinya mulai memencet nomor-nomor yang
selalu dihafalnya. Ya, nomor hp Mike. Tapi semuanya masih sama, tidak aktif.
Akhirnya dia memutuskan untuk menelepon teman sekelas Mike, yang juga teman
lama Catherine. Mungkin di bisa membantunya.
"Hallo."
"Daniel, lu
dirumah gak?"
"Ini Catherine
ya?"
"Iya."
"Gua
dirumah."
"Jangan pergi ya.
Gua mau dateng."
"Tapi...,"
belum selesai Daniel melanjutkan kata-katanya, telepon sudah terputus dari
seberang.
Catherine bergegas
mengambil handuk dan mandi. Tak lama kemudian, sudah dikayuhnya sepedanya
menuju rumah Daniel, di blok sebelah.
Ternyata Daniel sudah
di depan rumah, mendribble bola basketnya sendirian. Rambutnya basah setelah
satu jam bermain basket. Dibukanya pintu gerbang rumahnya untuk Catherine.
"Tumben
maen," tanya Daniel.
"Iya. Lagi suntuk
dirumah."
Mereka duduk dikursi
taman. Terdiam. Daniel sebenarnya sudah tau apa yang terjadi semalam. Mike
menceritakan semua. Namun, alasan dia meninggalkan Catherine bukan hanya karena
dia mau pindah keluar negeri, tapi karena orangtua Mike tidak menyetujui
hubungan mereka. Mike juga tidak mau backstreet, jadi lebih baik mereka putus.
Daniel menatap
Catherine disampingnya yang sedang memandang kosong kedepan. Dia ingin
meringankan beban Catherine, namun tak tahu mau ngomong apa. Sedangkan
Catherine tak tahu harus muali darimana. Setiap dia ingin mengeluarkan
kata-kata, bibirnya tertahan, dan matanya mulai berkaca-kaca. Makanya dia
memilih untuk tetap diam, sambil menenangkan hatinya.
"Eh, mau minum
apa?" tanya Daniel mengakhiri keheningan itu.
"Gak usah,
Dan," Catherine masih memandang kosong.
"Masih lama kan
disini? Gua mandi dulu aja ya. Kalau mau baca-baca ada dibawah meja itu,"
kata Daniel sambil menunjuk meja kecil di depan mereka.
"Eh, iya, Dan. Gua
tunggu disini ya."
Tak lama kemudian
Daniel sudah terlihat segar sambil membawa dua gelas es jeruk.
"Diminum ya.
Bikinan sendiri," kata Daniel sambil memberika satu gelas untuk Catherine.
"Oh ya?"
Catherine mencoba tuk tersenyum. Tak sengaja, dia memandang Daniel. Sejenak dia
melihat ketenangan di matanya. Daniel, teman dekatnya dari kelas tujuh, tempat
Catherine selalu berbagi cerita. Namun satu tahun ini sepertinya Catherine tak
pernah lagi maen ataupun telepon. Ya, setelah Catherine jalan sama Mike, Daniel
sepertinya menghilang.
"Diminum dong,
jangan cuma diliatin aja," kat Daniel mengusik lamunan Catherine.
"Eh, iya,"
Catherine hanya meminumnya sedikit. Ingatannya kembali ke kejadian semalam.
Mike. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Dah tau
kan," Catherine mencoba memulainya, "Mike ninggalin gua."
Daniel hanya
menatapnya, belum berani mengutarakan semua. Dia pun tak mau menambah sakit di
hati Catherine.
"Dia bilang mau
pindah ke Sidney," setitik air mata menetes dari mata Catherine,
"Kenapa tiba-tiba? Kenapa harus...," Catherine tak sanggup
melanjutkan kata-katanya. Air matanya mengalir semakin deras.
Daniel menyodorkan
tissue yang tergeletak di atas meja. Dia masih terdiam, menunggu Catherine
selesai mengusap air matanya dan kembali tenang. Disodorkannya pula es jeruk
yang akhirnya diminum Catherin sedikit demi sedikit.
"Mungkin gua
pernah bikin kesalahan," Catherine mulai mengatur nafasnya, "Mungkin
dia dah punya yang lain."
"Bukan, Catherine.
Mike memang mau pindah," akhirnya Daniel berucap. Catherine terdiam
sejenak. Namun sekali lagi dia menangis.
"Tapi kenapa harus
seperti ini?" Catherine tak kuasa menahan sedihnya. Disandarkan kepalanya
dibahu Daniel.
"Sakit hati ini,
Dan."
"Memang sakit,
Catherine. Tapi harus dijalani. Jangan sampai kita hancur karena hal kayak
gini. Tunjukin kalo lo tegar, Catherine. Yakin itu," ucap Daniel.
Catherine terisak.
"Coba tarik nafas
dalam. Ucapin dalam hati kalo elo cewe yang tegar."
Catherine pun duduk
tegap. Dengan mata tertutup dia menarik nafas dalam-dalam. Diulang-ulangnya
kata-kata Daniel dalam hati. Kini dia mulai tenang. Dibukanya matanya dan
mencoba tersenyum.
"Nah, gitu dong,
kan keliatan lebih cantik," Daniel pun tersenyum
menatapnya.
"Maafin gua ya.
Setahun ini gua gak pernah maen," catherin mulai melupakan kesedihannya.
"Iya nih, dah gak
ada yang bawain kue-kue kerumah. Gua kan jadi makin kurus sekarang."
"Ih, masih inget
aja," mata Catherine mulai berbinar.
"Eh, jadi inget
belom makan. Dah jam 12 loh. Kita makan diruma gua aja ya. Lo pastinya juga
belom makan deh. Yuk," Daniel pun mengajaknya masuk ke rumah.
"Okay."
Mereka manyantap
makanan mereka dengan lahap. Catherine sudah terlihat ceria walau matanya masih
bengkak karena kurang tidur.
"Elo gak
dicariin?" tanya Daniel sewaktu mereka kembali ke kursi taman.
"Gak kok. Lagi
pada ke tempat Tante. Gua juga dah pamit sama Pak Agus. Lagian gua masih pengin
disini. Inget gak, dulu tiap sore kita maen basket disini? Catherine tersenyum
mengenang masa-masa dulu.
"Inget dong.
Sampai malem pun gak mau berhenti."
Mereka pun tertawa
mengingatnya. Catherine pun mulai berpikir, ternyata persahabatan lebih
menyenangkan.
Setelah kepergian Mike
ke Sidney, Catherine jadi lebih pendiam. Dia lebih suka menghabiskan waktu
istirahatnya di kelas untuk belajar. Bahkan sering sekali dia menolak ajakan
teman-teman untuk makan di kantin. Terkadang Daniel datang ke kelasnya sewaktu
istirahat untuk meminjam buku catatan.
"Hei, belajar lagi
nih," suara Daniel mengejutkan Catherine yang sedang berkutat sendirian
dengan buku Math nya.
"Elu, Dan.
Ngagetin aja. Mau pinjem buku lagi ya," Catherine tersenyum seakan tahu
maksud kedatangan Daniel.
"Emm, sebenarnya
sih enggak. Cuman, besok kelasku ada ulangan Math. Kertas latihan soal yang
kemaren dibagiin hilang. Jadi...,"
"Jadi, harus
pinjem buat belajar dirumah."
"Betul
banget."
"Ha ha ha,"
mereka pun tertawa. Daniel merasa lega bisa meringankan beban Catherine. Hampir
tiap hari Daniel bertemu Catherine di sekolah. Ruang kelas mereka hanya
berseberangan. Daniel selalu menyempatkan diri untuk ngobrol ataupun hanya
menyapa Catherine.
"Tapi, gua
ulangannya hari ini. Gimana kalo ntar pulang sekolah, elu ambil kesini?"
tanya Catherine.
"Em, gimana kalo
gua ambil dirumah lu aja," usul Daniel.
"Gimana kalo gua
anter aja ke rumah lu. Sekalian ntar gua maen basket, kan tempat lu lebih luas.
Oke?" ucap Catherine berseri.
"Oke deh. Eh, dah
mo masuk lagi neh. Gua ke kelas dulu ya. Abis ini Bahasa Indonesia, repot kalo
mpe telat masuk," Daniel bergegas ke kelasnya.
"Hi hi,"
Catherine hanya tersenyum-senyum melihat Daniel. Dia bersyukur masih punya
teman sebaik Daniel. Tanpa dia mungkin Catherine masih terpuruk karena
ditinggalkan Mike. Atau mungkin malah mencoba bunuh diri. Mengerikan, pikir
Catherine.
Jam empat sore. Setelah mandi,
Catherine bergegas kerumah Daniel dengan sepedanya. Daniel sudah siap di depan
rumahnya dengan setumpuk buku Math di tangan kirinya dan bola basket di tangan
kanannya.
"Akhirnya datang
juga," kata Daniel sambil mendorong pintu gerbang dengan badannya.
"Iya dong. Ntar
kalo gua gak dateng, elu bisa-bisa dapet skor jelek gara-gara gak belajar, he
he," ucap catherine sambil menutup pintu gerbang.
"Nih, bolanya. Gua
gak ikut maen ya. Mau belajar dulu neh. Siapa tau pinter lo nular.'
"Bisa aja Ya udah
nih kertas-kertasnya."
Daniel menuju ke kursi
taman dan mulai belajar. Catherine masih asyik sendiri dengan bola basketnya.
Dia memang tidak terlalu tinggi, cuma 160 cm. Namun Catherine cukup lincah
bermain basket. Jarang sekali shoot yang dibuatnya meleset. Rambutnya
yang hitam sebahu mulai basah oleh keringat. Namun Catherine tetap bermain
tanpa terlihat lelah. Sesekali Daniel memperhatikannya, kagum.
"Belajar!"
teriak Catherine jika Daniel berhenti menulis dan muali memandangnya.
Tak terasa sudah satu
jam Daniel belajar dan Catherine bermain basket. Langit sore mulai
kemerah-merahan dan sedikit mendung.
"Catherine, mau es
krim gak?" tanya Daniel sambil merapikan buku-bukunya.
"Boleh. Tapi lo
dah kelar belajarnya?" ucap Catherine menghampiri Daniel.
"Udah kok. Tapi es
krim nya beli dulu ya. Ntar kita ke seberang situ, deket. Gua yang bayarin deh,
kan lu dah bawain Math nya. Oke?" Daniel membawa buku-bukunya kedalam.
Catherine mengeringkan wajahnya dengan tissue.
"Yuk," ajak
Daniel setelah selesai dengan buku-bukunya. Mereka pun menuju ke mini market di
seberang jalan.
"Rasa apa?"
"Cokelat aja
deh."
"Oke. Cokelat
dua."
Hujan deras mulai turun
tepat ketika Daniel selesai membayar es krim. Untung penjaga kasir mengenal
Daniel dan berbaik hati meminjamkan payungnya. Daniel dan Catherine pun
menyeberang berdua dengan payung itu dibawah guyuran hujan. Untung mereka tidak
basah kuyup sesampai di rumah Daniel, hanya tangan dan kaki mereka yang basah.
Mereka duduk bersebelahan di ruang depan menikmati es krim. Lama mereka
terdiam. Hujan masih deras diluar sana.
"Catherine,"
ucap Daniel.
"Em,"
Catherine masih menikmati bagian terakhir es krimnya.
"Aku... sayang
kamu."
"Daniel?"
Jantung Catherine berdebar kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Dipandangnya kedua mata Daniel disampingnya. Masih bening
menatapnya. Tatapan yang tulus untuk Catherine. Namun Catherine masih belum
percaya dengan ucapan Daniel. Daniel, sahabat terdekatnya saat ini.
"Lo ngomong
apa?" tanya Catherine sekali lagi.
"Iya ... aku
sayang kamu," ucap Daniel sambil memegang tangan kiri Catherine yang
terasa dingin. Catherine terdiam.
"Beneran Catherine.
Dari dulu. Dari waktu kita kelas tujuh."
"Nggak. Nggak,
Daniel. Aku... gua belum bisa pacaran lagi. Gua pengin sendiri dulu. Gua, takut
kalo...," Catherine tak melanjutkan kata-katanya. Pelan-pelan
dilepaskannya tangannya dari pegangan Daniel.
"Eh, ujannya dah
reda. Gua pulang dulu ya," Catherine bergegas meninggalkan Daniel.
Malam itu, sekali lagi,
Catherine tidak bisa tidur. Daniel? Sahabatnya yang selalu menghiburnya saat
dia sedih, yang selalu menemaninya ketika sendiri. Apakah dia hanya mau
mempermainkannya? Atau hanya karena kasihan? Kalau memang benar, kenapa gak
bilang dari dulu? Kenapa harus ada Mike yang akhirnya hanya menyakitinya? Kalau
setelah pacaran, nantinya Daniel juga meninggalkannya, siapa lagi yang menemani
Catherine? Tidak. Catherine tetap ingin berteman saja. Catherine tak mau
kehilangan sahabatnya itu.
Tapi, sorot mata bening
itu. Mata yang selalu tulus dan jujur. Yang selalu menenangkan hati Catherine.
Jam duabelas malam.
Catherine mengangkat handphone nya. Daniel, calling....
"Daniel?"
"Catherine."
Mereka terdiam sejenak.
"Aku... masih
sayang kamu," ucap Daniel.
0 comments:
Post a Comment
What do you think about the story?