Friday, August 3, 2012

He's the One

Posted by phero at 5:32 AM

                

“Bolehkah aku menunggumu.”
            Tetes air mata mengalir di pipi mungil Catherine. Matanya terkatup tak mampu menahan sakit di hatinya.
            "No, don't do that. Aku udah bilang aku mau pindah sekolah. Sekalian nanti High School juga disana," dengan tenang Mike menjawab seperti tak ada kesedihan dihatinya.
            Sudah satu tahun ini mereka pacaran. Sudah satu tahun ini pula Catherine merasa menjadi cewe paling bahagia bisa bersama Mike. Tapi, sudah tiga minggu ini Mike tak pernah datang ke rumahnya. Sms yang dikirim Catherine pun jarang dibalas. Bahkan di sekolah, Mike lebih suka berkumpul dengan teman-temannya.
            Akhirnya saatnya tiba. Ya, saat untuk bertemu berdua disamping sekolah saat acara pentas seni. Catherine menanyakan tentang hubungan mereka. Namun, jawaban Mike benar-benar membuat Catherine terluka. Mike sudah tidak menyayanginya. Bahkan dia pun berkata kalau dia ingin melupakan kisah mereka.
            "Aku masih ingin menunggumu," dengan lirih Catherine mengucapkannya setelah sejenak mereka terdiam.
            "Hah, four years? No, empat tahun terlalu lama. Aku juga mau fokus sama belajarku," ucap Mike.
            Catherine kembali terisak. Dia percaya masih bisa menunggu empat tahun lagi. Lagipula Jakarta-Sidney tidak begitu jauh. Mungkin dia akan mengumpulkan tabungannya untuk bisa kesana.
            Mike terdiam. Catherine hanya bisa terisak. Haruskah semuanya berakhir malam ini? Saat teman-teman menikmati konser dan bersenang-senang.
            Musik menderu dari band penutup, dan Catherine pun makin sayu. Dilihatnya beberapa anak yang sudah keluar sekolah karena hari sudah malam.
            "Mike, cabut yuk. Dah kelar neh acaranya," Daniel, teman sekelas Mike, menghampiri mereka. Catherine hanya terdiam menatap Daniel, seakan mau berkata kalau dia tidak ingin Mike pulang lebih dulu.
            "Oh, ada Catherine ya. Ya udah, gua pulang duluan aja. Gua nebeng Kris aja," Daniel pun sepertinya mengerti apa yang dikhawatirkan Catherine dan tak mau mengganggu mereka berdua. Dia pun meninggalkan mereka menuju ke tempat parkir.
            "Daniel, tunggu. Gua juga cabut sekarang," Mike pun beranjak dari duduknya, tanpa menoleh kearah Catherine. Catherine hanya bisa terpaku melihat kenyataan itu. Dia memandang kepergian Mike dengan mata berlinang. Ditinggalkan. Diabaikan. Hampa.
            "Neng Katrin," Pak Agus, supir yang sejak jam sepuluh tadi menunggu, mengejutkannya.
            "Eh, iya Pak, ada apa?" Catherine mengusap air matanya dengan tissue yang tinggal satu lembar.
            "Sudah jam sebelas, Neng. Papa Neng Katrin bilang sampai rumah tidak boleh lebih dari jam sebelas."
            "Eh, ya, pak. Ntar aku yang bilang ke Papa."
            Malam itu Catherine sama sekali tak bisa tidur. Matanya bengkak. Berkali-kali dia mencoba menelepon Mike, tapi nomor-nomor handphone nya tidak ada yang aktif. Jam dua pagi, Catherine mencoba menghubungi nomor rumahnya. Terang saja tidak ada yang mengangkat di pagi buta seperti itu.
            "Tuhan, kenapa seperti ini. Sakit. Sakit rasanya."
            Catherine terpaku di sudut kamarnya. Terduduk menatap langit-langit yang gelap. Suram.





            "Catherine. Dah bangun belum?"
            "Eh, udah, ma," Catherine terjaga. Ternyata dia sempat terlelap beberapa saat. Sinar mentari melewati jendela, menghangatkan kepalanya. Ya, dia masih terduduk disudut ruangan.
            "Catherine, mama sama papa mau ke rumah Tante Sisca dulu ya. Nanti kalau mau sarapan, bikin sandwich aja ya," terdengar langkah mamanya di luar kamar.
            "Mike."
            Catherine mengambil handphone yang terlepas dari tangannya. Jarinya mulai memencet nomor-nomor yang selalu dihafalnya. Ya, nomor hp Mike. Tapi semuanya masih sama, tidak aktif. Akhirnya dia memutuskan untuk menelepon teman sekelas Mike, yang juga teman lama Catherine. Mungkin di bisa membantunya.
            "Hallo."
            "Daniel, lu dirumah gak?"
            "Ini Catherine ya?"
            "Iya."
            "Gua dirumah."
            "Jangan pergi ya. Gua mau dateng."
            "Tapi...," belum selesai Daniel melanjutkan kata-katanya, telepon sudah terputus dari seberang.
            Catherine bergegas mengambil handuk dan mandi. Tak lama kemudian, sudah dikayuhnya sepedanya menuju rumah Daniel, di blok sebelah.
            Ternyata Daniel sudah di depan rumah, mendribble bola basketnya sendirian. Rambutnya basah setelah satu jam bermain basket. Dibukanya pintu gerbang rumahnya untuk Catherine.
            "Tumben maen," tanya Daniel.
            "Iya. Lagi suntuk dirumah."
            Mereka duduk dikursi taman. Terdiam. Daniel sebenarnya sudah tau apa yang terjadi semalam. Mike menceritakan semua. Namun, alasan dia meninggalkan Catherine bukan hanya karena dia mau pindah keluar negeri, tapi karena orangtua Mike tidak menyetujui hubungan mereka. Mike juga tidak mau backstreet, jadi lebih baik mereka putus.
            Daniel menatap Catherine disampingnya yang sedang memandang kosong kedepan. Dia ingin meringankan beban Catherine, namun tak tahu mau ngomong apa. Sedangkan Catherine tak tahu harus muali darimana. Setiap dia ingin mengeluarkan kata-kata, bibirnya tertahan, dan matanya mulai berkaca-kaca. Makanya dia memilih untuk tetap diam, sambil menenangkan hatinya.
            "Eh, mau minum apa?" tanya Daniel mengakhiri keheningan itu.
            "Gak usah, Dan," Catherine masih memandang kosong.
            "Masih lama kan disini? Gua mandi dulu aja ya. Kalau mau baca-baca ada dibawah meja itu," kata Daniel sambil menunjuk meja kecil di depan mereka.
            "Eh, iya, Dan. Gua tunggu disini ya."
            Tak lama kemudian Daniel sudah terlihat segar sambil membawa dua gelas es jeruk.
            "Diminum ya. Bikinan sendiri," kata Daniel sambil memberika satu gelas untuk Catherine.
            "Oh ya?" Catherine mencoba tuk tersenyum. Tak sengaja, dia memandang Daniel. Sejenak dia melihat ketenangan di matanya. Daniel, teman dekatnya dari kelas tujuh, tempat Catherine selalu berbagi cerita. Namun satu tahun ini sepertinya Catherine tak pernah lagi maen ataupun telepon. Ya, setelah Catherine jalan sama Mike, Daniel sepertinya menghilang.
            "Diminum dong, jangan cuma diliatin aja," kat Daniel mengusik lamunan Catherine.
            "Eh, iya," Catherine hanya meminumnya sedikit. Ingatannya kembali ke kejadian semalam. Mike. Matanya mulai berkaca-kaca.
            "Dah tau kan," Catherine mencoba memulainya, "Mike ninggalin gua."
            Daniel hanya menatapnya, belum berani mengutarakan semua. Dia pun tak mau menambah sakit di hati Catherine.
            "Dia bilang mau pindah ke Sidney," setitik air mata menetes dari mata Catherine, "Kenapa tiba-tiba? Kenapa harus...," Catherine tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Air matanya mengalir semakin deras.
            Daniel menyodorkan tissue yang tergeletak di atas meja. Dia masih terdiam, menunggu Catherine selesai mengusap air matanya dan kembali tenang. Disodorkannya pula es jeruk yang akhirnya diminum Catherin sedikit demi sedikit.
            "Mungkin gua pernah bikin kesalahan," Catherine mulai mengatur nafasnya, "Mungkin dia dah punya yang lain."
            "Bukan, Catherine. Mike memang mau pindah," akhirnya Daniel berucap. Catherine terdiam sejenak. Namun sekali lagi dia menangis.
            "Tapi kenapa harus seperti ini?" Catherine tak kuasa menahan sedihnya. Disandarkan kepalanya dibahu Daniel.
              "Sakit hati ini, Dan."
            "Memang sakit, Catherine. Tapi harus dijalani. Jangan sampai kita hancur karena hal kayak gini. Tunjukin kalo lo tegar, Catherine. Yakin itu," ucap Daniel.
            Catherine terisak.
            "Coba tarik nafas dalam. Ucapin dalam hati kalo elo cewe yang tegar."
            Catherine pun duduk tegap. Dengan mata tertutup dia menarik nafas dalam-dalam. Diulang-ulangnya kata-kata Daniel dalam hati. Kini dia mulai tenang. Dibukanya matanya dan mencoba tersenyum.
            "Nah, gitu dong, kan keliatan lebih cantik," Daniel pun tersenyum menatapnya.
            "Maafin gua ya. Setahun ini gua gak pernah maen," catherin mulai melupakan kesedihannya.

            "Iya nih, dah gak ada yang bawain kue-kue kerumah. Gua kan jadi makin kurus sekarang."
            "Ih, masih inget aja," mata Catherine mulai berbinar.
            "Eh, jadi inget belom makan. Dah jam 12 loh. Kita makan diruma gua aja ya. Lo pastinya juga belom makan deh. Yuk," Daniel pun mengajaknya masuk ke rumah.
            "Okay."
            Mereka manyantap makanan mereka dengan lahap. Catherine sudah terlihat ceria walau matanya masih bengkak karena kurang tidur.
            "Elo gak dicariin?" tanya Daniel sewaktu mereka kembali ke kursi taman.
            "Gak kok. Lagi pada ke tempat Tante. Gua juga dah pamit sama Pak Agus. Lagian gua masih pengin disini. Inget gak, dulu tiap sore kita maen basket disini? Catherine tersenyum mengenang masa-masa dulu.
            "Inget dong. Sampai malem pun gak mau berhenti."
            Mereka pun tertawa mengingatnya. Catherine pun mulai berpikir, ternyata persahabatan lebih menyenangkan.





            Setelah kepergian Mike ke Sidney, Catherine jadi lebih pendiam. Dia lebih suka menghabiskan waktu istirahatnya di kelas untuk belajar. Bahkan sering sekali dia menolak ajakan teman-teman untuk makan di kantin. Terkadang Daniel datang ke kelasnya sewaktu istirahat untuk meminjam buku catatan.
            "Hei, belajar lagi nih," suara Daniel mengejutkan Catherine yang sedang berkutat sendirian dengan buku Math nya.
            "Elu, Dan. Ngagetin aja. Mau pinjem buku lagi ya," Catherine tersenyum seakan tahu maksud kedatangan Daniel.
            "Emm, sebenarnya sih enggak. Cuman, besok kelasku ada ulangan Math. Kertas latihan soal yang kemaren dibagiin hilang. Jadi...,"
            "Jadi, harus pinjem buat belajar dirumah."
            "Betul banget."
            "Ha ha ha," mereka pun tertawa. Daniel merasa lega bisa meringankan beban Catherine. Hampir tiap hari Daniel bertemu Catherine di sekolah. Ruang kelas mereka hanya berseberangan. Daniel selalu menyempatkan diri untuk ngobrol ataupun hanya menyapa Catherine.
            "Tapi, gua ulangannya hari ini. Gimana kalo ntar pulang sekolah, elu ambil kesini?" tanya Catherine.
            "Em, gimana kalo gua ambil dirumah lu aja," usul Daniel.
            "Gimana kalo gua anter aja ke rumah lu. Sekalian ntar gua maen basket, kan tempat lu lebih luas. Oke?" ucap Catherine berseri.
            "Oke deh. Eh, dah mo masuk lagi neh. Gua ke kelas dulu ya. Abis ini Bahasa Indonesia, repot kalo mpe telat masuk," Daniel bergegas ke kelasnya.
            "Hi hi," Catherine hanya tersenyum-senyum melihat Daniel. Dia bersyukur masih punya teman sebaik Daniel. Tanpa dia mungkin Catherine masih terpuruk karena ditinggalkan Mike. Atau mungkin malah mencoba bunuh diri. Mengerikan, pikir Catherine.
           
Jam empat sore. Setelah mandi, Catherine bergegas kerumah Daniel dengan sepedanya. Daniel sudah siap di depan rumahnya dengan setumpuk buku Math di tangan kirinya dan bola basket di tangan kanannya.
            "Akhirnya datang juga," kata Daniel sambil mendorong pintu gerbang dengan badannya.
            "Iya dong. Ntar kalo gua gak dateng, elu bisa-bisa dapet skor jelek gara-gara gak belajar, he he," ucap catherine sambil menutup pintu gerbang.
            "Nih, bolanya. Gua gak ikut maen ya. Mau belajar dulu neh. Siapa tau pinter lo nular.'
            "Bisa aja Ya udah nih kertas-kertasnya."
            Daniel menuju ke kursi taman dan mulai belajar. Catherine masih asyik sendiri dengan bola basketnya. Dia memang tidak terlalu tinggi, cuma 160 cm. Namun Catherine cukup lincah bermain basket. Jarang sekali shoot yang dibuatnya meleset. Rambutnya yang hitam sebahu mulai basah oleh keringat. Namun Catherine tetap bermain tanpa terlihat lelah. Sesekali Daniel memperhatikannya, kagum.
            "Belajar!" teriak Catherine jika Daniel berhenti menulis dan muali memandangnya.
            Tak terasa sudah satu jam Daniel belajar dan Catherine bermain basket. Langit sore mulai kemerah-merahan dan sedikit mendung.
            "Catherine, mau es krim gak?" tanya Daniel sambil merapikan buku-bukunya.
            "Boleh. Tapi lo dah kelar belajarnya?" ucap Catherine menghampiri Daniel.
            "Udah kok. Tapi es krim nya beli dulu ya. Ntar kita ke seberang situ, deket. Gua yang bayarin deh, kan lu dah bawain Math nya. Oke?" Daniel membawa buku-bukunya kedalam. Catherine mengeringkan wajahnya dengan tissue.
            "Yuk," ajak Daniel setelah selesai dengan buku-bukunya. Mereka pun menuju ke mini market di seberang jalan.
            "Rasa apa?"
            "Cokelat aja deh."
            "Oke. Cokelat dua."
            Hujan deras mulai turun tepat ketika Daniel selesai membayar es krim. Untung penjaga kasir mengenal Daniel dan berbaik hati meminjamkan payungnya. Daniel dan Catherine pun menyeberang berdua dengan payung itu dibawah guyuran hujan. Untung mereka tidak basah kuyup sesampai di rumah Daniel, hanya tangan dan kaki mereka yang basah. Mereka duduk bersebelahan di ruang depan menikmati es krim. Lama mereka terdiam. Hujan masih deras diluar sana.
            "Catherine," ucap Daniel.
            "Em," Catherine masih menikmati bagian terakhir es krimnya.
            "Aku... sayang kamu."
            "Daniel?" Jantung Catherine berdebar kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dipandangnya kedua mata Daniel disampingnya. Masih bening menatapnya. Tatapan yang tulus untuk Catherine. Namun Catherine masih belum percaya dengan ucapan Daniel. Daniel, sahabat terdekatnya saat ini.
            "Lo ngomong apa?" tanya Catherine sekali lagi.
            "Iya ... aku sayang kamu," ucap Daniel sambil memegang tangan kiri Catherine yang terasa dingin. Catherine terdiam.
            "Beneran Catherine. Dari dulu. Dari waktu kita kelas tujuh."
            "Nggak. Nggak, Daniel. Aku... gua belum bisa pacaran lagi. Gua pengin sendiri dulu. Gua, takut kalo...," Catherine tak melanjutkan kata-katanya. Pelan-pelan dilepaskannya tangannya dari pegangan Daniel.
            "Eh, ujannya dah reda. Gua pulang dulu ya," Catherine bergegas meninggalkan Daniel.





            Malam itu, sekali lagi, Catherine tidak bisa tidur. Daniel? Sahabatnya yang selalu menghiburnya saat dia sedih, yang selalu menemaninya ketika sendiri. Apakah dia hanya mau mempermainkannya? Atau hanya karena kasihan? Kalau memang benar, kenapa gak bilang dari dulu? Kenapa harus ada Mike yang akhirnya hanya menyakitinya? Kalau setelah pacaran, nantinya Daniel juga meninggalkannya, siapa lagi yang menemani Catherine? Tidak. Catherine tetap ingin berteman saja. Catherine tak mau kehilangan sahabatnya itu.
            Tapi, sorot mata bening itu. Mata yang selalu tulus dan jujur. Yang selalu menenangkan hati Catherine.
            Jam duabelas malam. Catherine mengangkat handphone nya. Daniel, calling....
            "Daniel?"
            "Catherine."
            Mereka terdiam sejenak.
            "Aku... masih sayang kamu," ucap Daniel.

            "Aku... Haruskah aku gak percaya?"

0 comments:

Post a Comment

What do you think about the story?

Friday, August 3, 2012

He's the One


                

“Bolehkah aku menunggumu.”
            Tetes air mata mengalir di pipi mungil Catherine. Matanya terkatup tak mampu menahan sakit di hatinya.
            "No, don't do that. Aku udah bilang aku mau pindah sekolah. Sekalian nanti High School juga disana," dengan tenang Mike menjawab seperti tak ada kesedihan dihatinya.
            Sudah satu tahun ini mereka pacaran. Sudah satu tahun ini pula Catherine merasa menjadi cewe paling bahagia bisa bersama Mike. Tapi, sudah tiga minggu ini Mike tak pernah datang ke rumahnya. Sms yang dikirim Catherine pun jarang dibalas. Bahkan di sekolah, Mike lebih suka berkumpul dengan teman-temannya.
            Akhirnya saatnya tiba. Ya, saat untuk bertemu berdua disamping sekolah saat acara pentas seni. Catherine menanyakan tentang hubungan mereka. Namun, jawaban Mike benar-benar membuat Catherine terluka. Mike sudah tidak menyayanginya. Bahkan dia pun berkata kalau dia ingin melupakan kisah mereka.
            "Aku masih ingin menunggumu," dengan lirih Catherine mengucapkannya setelah sejenak mereka terdiam.
            "Hah, four years? No, empat tahun terlalu lama. Aku juga mau fokus sama belajarku," ucap Mike.
            Catherine kembali terisak. Dia percaya masih bisa menunggu empat tahun lagi. Lagipula Jakarta-Sidney tidak begitu jauh. Mungkin dia akan mengumpulkan tabungannya untuk bisa kesana.
            Mike terdiam. Catherine hanya bisa terisak. Haruskah semuanya berakhir malam ini? Saat teman-teman menikmati konser dan bersenang-senang.
            Musik menderu dari band penutup, dan Catherine pun makin sayu. Dilihatnya beberapa anak yang sudah keluar sekolah karena hari sudah malam.
            "Mike, cabut yuk. Dah kelar neh acaranya," Daniel, teman sekelas Mike, menghampiri mereka. Catherine hanya terdiam menatap Daniel, seakan mau berkata kalau dia tidak ingin Mike pulang lebih dulu.
            "Oh, ada Catherine ya. Ya udah, gua pulang duluan aja. Gua nebeng Kris aja," Daniel pun sepertinya mengerti apa yang dikhawatirkan Catherine dan tak mau mengganggu mereka berdua. Dia pun meninggalkan mereka menuju ke tempat parkir.
            "Daniel, tunggu. Gua juga cabut sekarang," Mike pun beranjak dari duduknya, tanpa menoleh kearah Catherine. Catherine hanya bisa terpaku melihat kenyataan itu. Dia memandang kepergian Mike dengan mata berlinang. Ditinggalkan. Diabaikan. Hampa.
            "Neng Katrin," Pak Agus, supir yang sejak jam sepuluh tadi menunggu, mengejutkannya.
            "Eh, iya Pak, ada apa?" Catherine mengusap air matanya dengan tissue yang tinggal satu lembar.
            "Sudah jam sebelas, Neng. Papa Neng Katrin bilang sampai rumah tidak boleh lebih dari jam sebelas."
            "Eh, ya, pak. Ntar aku yang bilang ke Papa."
            Malam itu Catherine sama sekali tak bisa tidur. Matanya bengkak. Berkali-kali dia mencoba menelepon Mike, tapi nomor-nomor handphone nya tidak ada yang aktif. Jam dua pagi, Catherine mencoba menghubungi nomor rumahnya. Terang saja tidak ada yang mengangkat di pagi buta seperti itu.
            "Tuhan, kenapa seperti ini. Sakit. Sakit rasanya."
            Catherine terpaku di sudut kamarnya. Terduduk menatap langit-langit yang gelap. Suram.





            "Catherine. Dah bangun belum?"
            "Eh, udah, ma," Catherine terjaga. Ternyata dia sempat terlelap beberapa saat. Sinar mentari melewati jendela, menghangatkan kepalanya. Ya, dia masih terduduk disudut ruangan.
            "Catherine, mama sama papa mau ke rumah Tante Sisca dulu ya. Nanti kalau mau sarapan, bikin sandwich aja ya," terdengar langkah mamanya di luar kamar.
            "Mike."
            Catherine mengambil handphone yang terlepas dari tangannya. Jarinya mulai memencet nomor-nomor yang selalu dihafalnya. Ya, nomor hp Mike. Tapi semuanya masih sama, tidak aktif. Akhirnya dia memutuskan untuk menelepon teman sekelas Mike, yang juga teman lama Catherine. Mungkin di bisa membantunya.
            "Hallo."
            "Daniel, lu dirumah gak?"
            "Ini Catherine ya?"
            "Iya."
            "Gua dirumah."
            "Jangan pergi ya. Gua mau dateng."
            "Tapi...," belum selesai Daniel melanjutkan kata-katanya, telepon sudah terputus dari seberang.
            Catherine bergegas mengambil handuk dan mandi. Tak lama kemudian, sudah dikayuhnya sepedanya menuju rumah Daniel, di blok sebelah.
            Ternyata Daniel sudah di depan rumah, mendribble bola basketnya sendirian. Rambutnya basah setelah satu jam bermain basket. Dibukanya pintu gerbang rumahnya untuk Catherine.
            "Tumben maen," tanya Daniel.
            "Iya. Lagi suntuk dirumah."
            Mereka duduk dikursi taman. Terdiam. Daniel sebenarnya sudah tau apa yang terjadi semalam. Mike menceritakan semua. Namun, alasan dia meninggalkan Catherine bukan hanya karena dia mau pindah keluar negeri, tapi karena orangtua Mike tidak menyetujui hubungan mereka. Mike juga tidak mau backstreet, jadi lebih baik mereka putus.
            Daniel menatap Catherine disampingnya yang sedang memandang kosong kedepan. Dia ingin meringankan beban Catherine, namun tak tahu mau ngomong apa. Sedangkan Catherine tak tahu harus muali darimana. Setiap dia ingin mengeluarkan kata-kata, bibirnya tertahan, dan matanya mulai berkaca-kaca. Makanya dia memilih untuk tetap diam, sambil menenangkan hatinya.
            "Eh, mau minum apa?" tanya Daniel mengakhiri keheningan itu.
            "Gak usah, Dan," Catherine masih memandang kosong.
            "Masih lama kan disini? Gua mandi dulu aja ya. Kalau mau baca-baca ada dibawah meja itu," kata Daniel sambil menunjuk meja kecil di depan mereka.
            "Eh, iya, Dan. Gua tunggu disini ya."
            Tak lama kemudian Daniel sudah terlihat segar sambil membawa dua gelas es jeruk.
            "Diminum ya. Bikinan sendiri," kata Daniel sambil memberika satu gelas untuk Catherine.
            "Oh ya?" Catherine mencoba tuk tersenyum. Tak sengaja, dia memandang Daniel. Sejenak dia melihat ketenangan di matanya. Daniel, teman dekatnya dari kelas tujuh, tempat Catherine selalu berbagi cerita. Namun satu tahun ini sepertinya Catherine tak pernah lagi maen ataupun telepon. Ya, setelah Catherine jalan sama Mike, Daniel sepertinya menghilang.
            "Diminum dong, jangan cuma diliatin aja," kat Daniel mengusik lamunan Catherine.
            "Eh, iya," Catherine hanya meminumnya sedikit. Ingatannya kembali ke kejadian semalam. Mike. Matanya mulai berkaca-kaca.
            "Dah tau kan," Catherine mencoba memulainya, "Mike ninggalin gua."
            Daniel hanya menatapnya, belum berani mengutarakan semua. Dia pun tak mau menambah sakit di hati Catherine.
            "Dia bilang mau pindah ke Sidney," setitik air mata menetes dari mata Catherine, "Kenapa tiba-tiba? Kenapa harus...," Catherine tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Air matanya mengalir semakin deras.
            Daniel menyodorkan tissue yang tergeletak di atas meja. Dia masih terdiam, menunggu Catherine selesai mengusap air matanya dan kembali tenang. Disodorkannya pula es jeruk yang akhirnya diminum Catherin sedikit demi sedikit.
            "Mungkin gua pernah bikin kesalahan," Catherine mulai mengatur nafasnya, "Mungkin dia dah punya yang lain."
            "Bukan, Catherine. Mike memang mau pindah," akhirnya Daniel berucap. Catherine terdiam sejenak. Namun sekali lagi dia menangis.
            "Tapi kenapa harus seperti ini?" Catherine tak kuasa menahan sedihnya. Disandarkan kepalanya dibahu Daniel.
              "Sakit hati ini, Dan."
            "Memang sakit, Catherine. Tapi harus dijalani. Jangan sampai kita hancur karena hal kayak gini. Tunjukin kalo lo tegar, Catherine. Yakin itu," ucap Daniel.
            Catherine terisak.
            "Coba tarik nafas dalam. Ucapin dalam hati kalo elo cewe yang tegar."
            Catherine pun duduk tegap. Dengan mata tertutup dia menarik nafas dalam-dalam. Diulang-ulangnya kata-kata Daniel dalam hati. Kini dia mulai tenang. Dibukanya matanya dan mencoba tersenyum.
            "Nah, gitu dong, kan keliatan lebih cantik," Daniel pun tersenyum menatapnya.
            "Maafin gua ya. Setahun ini gua gak pernah maen," catherin mulai melupakan kesedihannya.

            "Iya nih, dah gak ada yang bawain kue-kue kerumah. Gua kan jadi makin kurus sekarang."
            "Ih, masih inget aja," mata Catherine mulai berbinar.
            "Eh, jadi inget belom makan. Dah jam 12 loh. Kita makan diruma gua aja ya. Lo pastinya juga belom makan deh. Yuk," Daniel pun mengajaknya masuk ke rumah.
            "Okay."
            Mereka manyantap makanan mereka dengan lahap. Catherine sudah terlihat ceria walau matanya masih bengkak karena kurang tidur.
            "Elo gak dicariin?" tanya Daniel sewaktu mereka kembali ke kursi taman.
            "Gak kok. Lagi pada ke tempat Tante. Gua juga dah pamit sama Pak Agus. Lagian gua masih pengin disini. Inget gak, dulu tiap sore kita maen basket disini? Catherine tersenyum mengenang masa-masa dulu.
            "Inget dong. Sampai malem pun gak mau berhenti."
            Mereka pun tertawa mengingatnya. Catherine pun mulai berpikir, ternyata persahabatan lebih menyenangkan.





            Setelah kepergian Mike ke Sidney, Catherine jadi lebih pendiam. Dia lebih suka menghabiskan waktu istirahatnya di kelas untuk belajar. Bahkan sering sekali dia menolak ajakan teman-teman untuk makan di kantin. Terkadang Daniel datang ke kelasnya sewaktu istirahat untuk meminjam buku catatan.
            "Hei, belajar lagi nih," suara Daniel mengejutkan Catherine yang sedang berkutat sendirian dengan buku Math nya.
            "Elu, Dan. Ngagetin aja. Mau pinjem buku lagi ya," Catherine tersenyum seakan tahu maksud kedatangan Daniel.
            "Emm, sebenarnya sih enggak. Cuman, besok kelasku ada ulangan Math. Kertas latihan soal yang kemaren dibagiin hilang. Jadi...,"
            "Jadi, harus pinjem buat belajar dirumah."
            "Betul banget."
            "Ha ha ha," mereka pun tertawa. Daniel merasa lega bisa meringankan beban Catherine. Hampir tiap hari Daniel bertemu Catherine di sekolah. Ruang kelas mereka hanya berseberangan. Daniel selalu menyempatkan diri untuk ngobrol ataupun hanya menyapa Catherine.
            "Tapi, gua ulangannya hari ini. Gimana kalo ntar pulang sekolah, elu ambil kesini?" tanya Catherine.
            "Em, gimana kalo gua ambil dirumah lu aja," usul Daniel.
            "Gimana kalo gua anter aja ke rumah lu. Sekalian ntar gua maen basket, kan tempat lu lebih luas. Oke?" ucap Catherine berseri.
            "Oke deh. Eh, dah mo masuk lagi neh. Gua ke kelas dulu ya. Abis ini Bahasa Indonesia, repot kalo mpe telat masuk," Daniel bergegas ke kelasnya.
            "Hi hi," Catherine hanya tersenyum-senyum melihat Daniel. Dia bersyukur masih punya teman sebaik Daniel. Tanpa dia mungkin Catherine masih terpuruk karena ditinggalkan Mike. Atau mungkin malah mencoba bunuh diri. Mengerikan, pikir Catherine.
           
Jam empat sore. Setelah mandi, Catherine bergegas kerumah Daniel dengan sepedanya. Daniel sudah siap di depan rumahnya dengan setumpuk buku Math di tangan kirinya dan bola basket di tangan kanannya.
            "Akhirnya datang juga," kata Daniel sambil mendorong pintu gerbang dengan badannya.
            "Iya dong. Ntar kalo gua gak dateng, elu bisa-bisa dapet skor jelek gara-gara gak belajar, he he," ucap catherine sambil menutup pintu gerbang.
            "Nih, bolanya. Gua gak ikut maen ya. Mau belajar dulu neh. Siapa tau pinter lo nular.'
            "Bisa aja Ya udah nih kertas-kertasnya."
            Daniel menuju ke kursi taman dan mulai belajar. Catherine masih asyik sendiri dengan bola basketnya. Dia memang tidak terlalu tinggi, cuma 160 cm. Namun Catherine cukup lincah bermain basket. Jarang sekali shoot yang dibuatnya meleset. Rambutnya yang hitam sebahu mulai basah oleh keringat. Namun Catherine tetap bermain tanpa terlihat lelah. Sesekali Daniel memperhatikannya, kagum.
            "Belajar!" teriak Catherine jika Daniel berhenti menulis dan muali memandangnya.
            Tak terasa sudah satu jam Daniel belajar dan Catherine bermain basket. Langit sore mulai kemerah-merahan dan sedikit mendung.
            "Catherine, mau es krim gak?" tanya Daniel sambil merapikan buku-bukunya.
            "Boleh. Tapi lo dah kelar belajarnya?" ucap Catherine menghampiri Daniel.
            "Udah kok. Tapi es krim nya beli dulu ya. Ntar kita ke seberang situ, deket. Gua yang bayarin deh, kan lu dah bawain Math nya. Oke?" Daniel membawa buku-bukunya kedalam. Catherine mengeringkan wajahnya dengan tissue.
            "Yuk," ajak Daniel setelah selesai dengan buku-bukunya. Mereka pun menuju ke mini market di seberang jalan.
            "Rasa apa?"
            "Cokelat aja deh."
            "Oke. Cokelat dua."
            Hujan deras mulai turun tepat ketika Daniel selesai membayar es krim. Untung penjaga kasir mengenal Daniel dan berbaik hati meminjamkan payungnya. Daniel dan Catherine pun menyeberang berdua dengan payung itu dibawah guyuran hujan. Untung mereka tidak basah kuyup sesampai di rumah Daniel, hanya tangan dan kaki mereka yang basah. Mereka duduk bersebelahan di ruang depan menikmati es krim. Lama mereka terdiam. Hujan masih deras diluar sana.
            "Catherine," ucap Daniel.
            "Em," Catherine masih menikmati bagian terakhir es krimnya.
            "Aku... sayang kamu."
            "Daniel?" Jantung Catherine berdebar kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dipandangnya kedua mata Daniel disampingnya. Masih bening menatapnya. Tatapan yang tulus untuk Catherine. Namun Catherine masih belum percaya dengan ucapan Daniel. Daniel, sahabat terdekatnya saat ini.
            "Lo ngomong apa?" tanya Catherine sekali lagi.
            "Iya ... aku sayang kamu," ucap Daniel sambil memegang tangan kiri Catherine yang terasa dingin. Catherine terdiam.
            "Beneran Catherine. Dari dulu. Dari waktu kita kelas tujuh."
            "Nggak. Nggak, Daniel. Aku... gua belum bisa pacaran lagi. Gua pengin sendiri dulu. Gua, takut kalo...," Catherine tak melanjutkan kata-katanya. Pelan-pelan dilepaskannya tangannya dari pegangan Daniel.
            "Eh, ujannya dah reda. Gua pulang dulu ya," Catherine bergegas meninggalkan Daniel.





            Malam itu, sekali lagi, Catherine tidak bisa tidur. Daniel? Sahabatnya yang selalu menghiburnya saat dia sedih, yang selalu menemaninya ketika sendiri. Apakah dia hanya mau mempermainkannya? Atau hanya karena kasihan? Kalau memang benar, kenapa gak bilang dari dulu? Kenapa harus ada Mike yang akhirnya hanya menyakitinya? Kalau setelah pacaran, nantinya Daniel juga meninggalkannya, siapa lagi yang menemani Catherine? Tidak. Catherine tetap ingin berteman saja. Catherine tak mau kehilangan sahabatnya itu.
            Tapi, sorot mata bening itu. Mata yang selalu tulus dan jujur. Yang selalu menenangkan hati Catherine.
            Jam duabelas malam. Catherine mengangkat handphone nya. Daniel, calling....
            "Daniel?"
            "Catherine."
            Mereka terdiam sejenak.
            "Aku... masih sayang kamu," ucap Daniel.

            "Aku... Haruskah aku gak percaya?"

No comments:

Post a Comment

What do you think about the story?

 

My Word is Simple Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting