“Alright, guys. Let’s do our silent reading for 15 minutes, as usual.”
Pff, suara
cempreng guru bahasa Inggris itu menggelitik kupingku. Silent reading,
membaca novel berbahasa Inggris selama 15 menit tanpa mengeluarkan suara,
benar-benar kegiatan yang gak masuk ke otakku. Apalagi bukunya tebal banget,
dengan font sekecil semut. Ah, lebih baik nginjek semut daripada memelototi
semut di buku kayak gini. Mana bahasanya susah dimengerti, lagi.
Astaga, timer
nya lambat banget sih, rasanya sudah seperti bertahun-tahun baca, eh masih saja
cuma 5 menit. Aku menoleh ke samping kanan kiriku, siapa tau ada yang mau
diajak ngobrol bisik-bisik, ”Ssst... Ssst... You know?”
“Joe, stay
focus on your novel!”
Waduh, ketahuan
deh. Di sudut ruangan, Miss Selena sudah mendelik ke arah ku. Astaga, matanya
seperti mau keluar. Mau tidak mau aku balik ke posisi semula, memelototi
novelku halaman demi halaman, tapi tidak kubaca! Duh, mana ngantuk berat.
“Riiiiinggg!” timer
di depan kelas memekakkan telinga.
Pff, akhirnya
berakhir juga penderitaanku. Wah, semoga hari ini guruku gak marah-marah
seperti biasanya. Hari ini kan gak ada homework, jadi aku sedikit aman.
“Ehm, our
school will have an English drama competition,” belum selesai Miss Selena
ngomong, kelas sudah riuh. Drama? In English? Astaga, kelasku bakal jadi
yang paling memalukan. Yang pinter bahasa Inggris kan cuma sedikit. Mana
kelasku cuma ada 14 anak.
“Listen to me
first,” lanjut Miss Selena, “we have a lot of works to do. First, we
choose a story.There are many stories in your textbook, we will choose it by
voting. What you need to consider is that a good drama serves an inspiring
story, emotion, and moral value.”
My goodness, milih cerita aja
pakai voting, kayak pemilu. Cerita yang mana ya, yang menarik, pakai
emosi, sama pesan moral. Dari semua cerita yang pernah dipelajari di kelas,
cuma ada satu yang benar-benar kupahami. Maklum, bahasa Inggris bukan
favoritku, lebih baik main basket seharian deh.
Huah, setelah tiga
seri ambil suara, akhirnya satu cerita terpilih. Tentang seorang ayah dan tiga
anak kecilnya, yang berjuang melewati padang rumput di Amerika yang ditolong
sama seorang cewe. Ah, itu kan cerita yang sangat aku pahami, he he. Soalnya, ending
ceritanya romantis banget, si cewe akhirnya menikah sama si ayah.
“Alright, next
job is,” Miss Selena sejenak menarik nafas, “to chose the actors,
actresses, director, and crew.”
“Me, director,”
si percaya diri teriak.
“I’m doing
setting,” si tukang gambar unjuk gigi.
“Miss, may I
become the costume designer?” ah si cerewet yang bajunya mahal-mahal itu.
“I’m watching,
Miss,” aku gak mau kalah.
“Stupid you,”
kontan beberapa anak menoleh kearahku.
“Well, guys. If
everybody becomes the crew, then who will perform?” suara Miss Selena
menenangkan kelas, “we’ll do casting first and everybody will choose the
best.”
Hah, casting?
Kayak iklan aja. Tapi tenang deh, gak bakal ada yang milih aku. Aku kan gak
bisa bahasa Inggris. Casting pertama buat pemeran ayah yang tegas namun
bertanggungjawab. Semua cowok bersiap satu-satu buat acting di depan
kelas. Setelah aku minta bocoran beberapa kalimat penting sama Miss Selena,
dengan pedenya aku acting marah-marah. Ha ha ha. Teman-teman cewe pun
mulai voting.
“So, Joe, you
become the father.”
“I don’t want,
Miss.”
“Yes, you want.
You're good in acting, you're the tallest to be the father, and your friends
have chosen you. What's more?”
Waduh, kalau aku
jadi si ayah, berarti nanti ada sesi romantisnya sama si cewe. Fiuh, semoga
saja yang jadi si cewe bukan Sarah. Dia kan mantanku yang paling nyebelin. Aku
putus gara-gara dia tidak bisa menyimpan rahasia.
Kelas masih
melanjutkan casting dan voting. Waduh, aku malah berdebar-debar.
Kalau yang jadi cewe nya, Sarah, aku bakalan malu habis-habisan. Males ah
akting sama dia, lihat mukanya tiap hari di sekolah aja sudah bikin ill feel.
“Finally, the
girl will be performed by,” Miss Selena teriak-teriak membuyarkan
lamunanku, “Sarah.”
“What? No,
Miss, no. I say no, still NO!”
Aku pun seperti
kebakaran jenggot. Busyet, teman-teman sudah mulai riuh lagi, “suiiitt...
suiiiiiiittttt.”
“Mati deh,”
batinku. Aku kan sudah punya pacar lagi.
Seharian aku cuma
melamun. Aku masih ingat masa-masa dulu pacaran sama Sarah, teman-temanku
selalu tahu apa yang terjadi. Ya, karena semua hal dibocorin sama Sarah
sendiri. Memalukan.
Sehari setelahnya, habis break time, ada kelas Inggris lagi. Seperti biasa, silent reading 15 menit, lalu dilanjutkan pembuatan naskah drama. Aku malas-malasan. Hari itu makin menyebalkan karena Sarah sering menanyakan hal-hal tentang drama sama aku.
“Do it
yourself!” Aku jawab sambil mencibir.
Kelas Inggris jadi
makin gak karuan gara-gara aku malas ikut campur. Ah biarin, lagi pula gak
bakalan menang kok. Kelas sebelah yang anaknya pinter-pinter bahkan sudah mulai
latihan drama memakai kostum lengkap. Ah, pasti kalah deh. Naskah saja belum
selesai.
“I think it's
better we do not join, Miss,” aku pun mulai ngomel-ngomel. Palin-paling
Miss Selena ikutan ngomel sebentar, terus drama nya dibatalkan karena tidak ada
pemeran ayah. Tapi tumben, Miss Selena cuma terdiam, lalu berkata pelan, “We
still go on.”
Menyebalkan! Hari
itu makin kacau saja. Sampai-sampai aku tidak selera makan waktu break time
tiba.
“Lo napa sih,
Joe?” teman terdekatku, Putra, tiba-tiba menanyakan sikapku di kelas Inggris.
“Ini kan cuma
drama, gak beneran. Kalo lo mang pernah pacaran sama Sarah, itu kan masalah
lama. Ini drama, man, drama...,” Putra mulai nerocos gak karuan.
“Gua malu,” aku
sejenak melupakan sepiring chicken teriyaki di depanku, yang biasanya bisa
kuhabiskan dalam hitungan detik.
“Man,
tumben lo punya malu, man. Eh, man, kalo elo malu, tuh berarti
elo masih punya rasa sama dia, man.”
“Ngaco, lo.”
“Eh, man,
ngomong-ngomong, elo putus masalah apa ya. Gua lupa, man,” muka culun si
Putra mulai kumat.
“Masa lo lupa, di
kan terlalu ember, suka bocorin masalah ke temen-temen,” perasaanku mulai gak
enak.
“Tapi serius, gua
gak pernah dibocorin a.k.a diceritain apa-apa sama Sarah. Itu gosip aja
kali. Ah, elo terlalu termakan gosip aja, man.”
“Ah, udahlah,” aku
gak mau lagi ngomongin hal ini. Seperti biasa, beberapa detik kemudian, piring
di depanku sudah tersapu bersih.
Di kelas Inggris hari berikutnya, Miss Selena marah besar. Bisa ditebak, gara-gara satu kelas tidak ada yang serius latihan. Bisa ditebak lagi, terutama aku.
Hari ini adalah
kelas Inggris terakhir sebelum babak eliminasi drama, tepatnya dua hari lagi.
Dalam hati aku senang sekali, kesempatan untuk membatalkan drama sangat besar.
Mana mungkin bisa latihan drama cuma sekali pertemuan. Dan sisa waktu tinggal
beberapa menit lagi. Ya, beberapa menit lagi lepas sudah kekhawatiranku.
“It's nonsense,
you know,” tiba-tiba Miss Selena teriak dengan suara tertahan, satu set
naskah drama terjatuh dari tangannya.
“You have
worked until here, but you seem to stop it!”
Aku melihat
kesedihan yang dalam di mata Miss Selena. Yah, memang benar, teman-teman sudah
bekerja sampai naskah selesai, tapi malah sepertinya makin malas-malasan.
Sebagai murid, aku memang salah, tapi kan Miss Selena belum tahu masalah
pribadiku.
“Don't you know
that you have the talents? I believe that this drama will be good, because you
had a good casting. Why don't you show your talents? Why? Because you have
problems with your friends?” Miss Selena berhenti berbicara, matanya berkaca-kaca.
Problems? Miss Selena, tau masalahku?
Bel tanda break
time berbunyi. Miss Selena menyuruh anak-anak keluar kelas langsung tanpa
memberi salam. Semua terdiam. Aku ingin mengatakan sesuatu sama Misss Selena,
tapi mungkin belum saatnya.
Hari berikutnya, kamis. Tidak ada pelajaran bahasa Inggris. Aku juga tidak ketemu Miss Selena hari itu. Namun seseorang membuyarkan lamunanku di sudut kantin.
“Ntar malem
latihan di rumah Evy, jam 7. Semoga miss Selena bisa dateng.”
Suara itu, ya,
suara yang tenang yang dulu selalu aku dengar, Sarah. Gak tau kenapa, saat itu
aku tidak merasa benci mendengar suara itu. Aneh, biasanya aku sudah ill feel
mendengarnya.
“Rumahnya dimana?”
baru aku mau menanyakannya, Sarah sudah meninggalkanku melewati koridor.
Rambutnya yang masih panjang melambai tertiup angin.
“Hoi, man.
Ntar malem ke rumah Evy. Latihan drama, man. Wajib dateng hukumnya. Rumahnya di
Puri Harapan Blok H nomor 8, man,” Putra datang membawa dua gelas milkshake
di mejaku. Dia memang sahabat yang baik. Aku juga lebih percaya sama dia, walau
beberapa guru bilang dia selengekan. Ah, masih lebih selengekan aku, lagi.
Malamnya, aku
terlambat datang. Ceweku, Adele, mengajak jalan-jalan dulu, terpaksa aku
mengantar walau pikiranku terbagi dengan latihan drama.
Jam delapan malam
aku baru sampai rumah Evy, setelah nyasar ke blok sebelah. Ternyata teman-teman
sudah lengkap datang, bahkan yang rumahnya paling jauh sekalipun.
Miss Selena juga
datang. Beliau memimpin latihan sampai selesai. Ada 7 scenes yang harus dimainkan.
Namun Miss Selena tetap sabar melatih walau satu scene bisa berkali-kali
diulang karena ada yang tidak serius latihan.
Jam setengah
sebelas malam, latihan selesai, dan semuanya pulang ke rumah masing-masing.
Pagi harinya,
sangat mengejutkan. Setelah pentas drama dengan beberapa kekacauan, kelasku
lolos eliminasi ke babak final! Bahkan Miss Selena pun terkejut melihat
pengumumannya. Hanya dalam sekali latihan!
Sejak saat itu
kelasku mulai bersemangat. Aku juga mulai serius di kelas. Memang ada saat-saat
aku bercanda keterlaluan yang membuat Miss Selena marah, tapi aku merasa nyaman
dengan kelasku sekarang.
Sehari sebelum
babak final, kelasku latihan drama lagi di rumah Angela. Kali ini lebih tepat
waktu dan lebih tertata. Sepertinya aku siap buat besok pagi.
“Joe! Be
serious and focus on your pronunciation!” keseriusan Miss Selena bikin
semua semangat. Hari itu Sarah juga bermain cukup baik.
Hari yang dinanti pun datang. Aku berdebar-debar. Teman-temanku pastinya merasakan hal yang sama. Hari ini semua murid dan guru akan menyaksikan final drama antar kelas bahasa Inggris, termasuk kelasku, yang anggotanya adalah anak-anak sepertiku. Kami berdoa bersama beberapa menit sebelum pentas. Kostum sudah siap. Setting sudah siap. Lampu panggung menyorot tajam. Sangat menegangkan. Aku takut aku lupa dialognya. “Pronunciation!” masih kuingat pesan Miss Selena, “be what you play!”
Ruang multifunction
itu menjadi saksi kelasku bermain drama. Saat di panggung, aku sudah tidak bisa
lagi melihat reaksi para penonton. Rasanya cepat sekali sampai akhirnya
pengumuman pemenang tiba. Seperti mimpi, kelasku menang. Apa? Kelasku menang?
Piala sudah berada
di tanganku. Aku pun lari ke belakang panggung.
“Miss Selena. Miss
Selena.”
“Guys, you've
worked hard. Joe, Sarah, and everybody, you've shown who you are. Now, it's all
yours,” Miss Selena tersenyum, kagum.
Semua pun gembira,
bahkan Kepala sekolah pun menyalami kami satu persatu sebelum pulang.
“Ssst, man,
elo belum tau kan, siapa yang nyebarin gosip yang bikin elo putus sama Sarah?
Itu tuh, si ...,” belum selesai Putra ngomong, aku sudah bergegas
meninggalkannya. Ku berlari di koridor yang sudah sepi itu, mengejar seseorang.
“Sarah.”
Sepasang mata yang bening itu menatapku. Senyumnya masih
manis, seperti dulu.
“Maafkan aku.”
0 comments:
Post a Comment
What do you think about the story?