Wednesday, October 17, 2012

Ketika Pagi

Posted by phero at 1:41 AM 1 comments






“Halo. Eh. Kelas Duabelas IPA Dua sebelah mana ya?” Agnes menghentikan langkahnya tepat di depan seorang siswa cowo yang sedang memarkirkan motornya. Masih cukup pagi untuk memulai pelajaran hari ini di sekolah baru. Agnes masih punya waktu kira-kira satu jam untuk baca-baca buku pelajaran atau sekedar berkenalan dengan teman-teman baru dan kelas baru.
            “Oh. Duabelas IPA dua ya?” Cowo bermata sayu itu menoleh sambil mengunci motornya, “Lurus aja. Nanti ketemu taman anggrek, belok kiri.”
“Makasih ya. Sorry aku belum hafal,” ucap Agnes gugup, mencoba terbiasa menggunakan kata “aku”, bukan “gue”. Dia tidak mau di cap terlalu “Jakarta” oleh teman-teman barunya nanti. Mereka mulai berjalan memasuki halaman dalam sekolah. Sebuah baliho besar tergantung di atas gerbang dengan tulisan “Welcome to the Green School, SMU Negeri 2 Yogyakarta”.
            “Santai aja. Nanti juga hafal. Kelas Sepuluh ya? Mau cari siapa di Duabelas IPA Dua?” tanya cowo itu sambil merapikan jaket hitamnya. Tidak ada senyum dari cowo itu. Tetapi, tidak juga ada nada ketus yang terucap.
            “Eh. Aku. Aku kelas Duabelas. Duabelas IPA Dua. Baru pindah,” jawab Agnes masih cukup gugup, namun dia berusaha tuk tersenyum.
            “Wah kirain kelas Sepuluh. Panggilnya kakak sapa nih?” cowo itu mulai tersenyum dan mengulurkan tangannya.
            Agnes pun menyambutnya, “Agnes aja.”
            “Aku Ari. Kalau butuh bantuan, datang aja ke kelas seberang,” Ari tertawa kecil.
Agnes hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Keduanya masih berjalan beriringan melewati koridor utama. Hanya ada beberapa siswa yang mereka temui sepanjang koridor. Pintu-pintu kelas sudah dibuka semua, tapi belum banyak guru yang datang. Seseorang berseragam Cleaning Service tampak sibuk mengeluarkan bak sampah kosong dari dalam kelas.
Pripun Pak Danu? Semangat?” Ari menepuk punggung orang itu dengan ramah.
“Wah semangat terus saya,” sahut Pak Danu dengan senyum lebarnya.
“Sip, Pak.”
Agnes tersenyum lega melihat keakraban kedua orang itu. Dalam hati dia berharap semoga sekolah barunya ini juga mempunyai suasana yang sama. Akrab.
“Eh kakak. Aku ke ruang OSIS dulu ya. Mau ambil bola, kemarin ketinggalan,” ucap Ari sambil menunjuk sebuah ruang di ujung kanan.
“Oh, oke. Aku lurus aja kan?” tanya Agnes memastikan dia tidak tersesat di sekolah barunya.
“Iya. Jangan lupa belok kiri ya. Hehe. Sampai ketemu, kakak,” Ari pun berbelok ke kanan menuju sebuah ruang kecil dengan pintu berwarna biru tua.

***

Agnes melanjutkan langkahnya sambil mencoba menghafalkan ruang-ruang baru yang dilewatinya. The Little Things She Needs hitam menemani langkahnya. Rambutnya yang panjang melambai tertiup angin pagi itu. Seragamnya masih terlihat baru dan rapi. Jika papanya tidak dipindahtugaskan ke Jogja, mungkin Agnes tidak perlu beradaptasi dengan suasana baru seperti ini. Namun apa boleh buat, dia harus pindah sekolah di pertengahan semester pertama kelas Duabelas. Kalaupun tetap tinggal di Jakarta, dia harus tinggal sendiri dan mengurus rumah sendiri karena mama dan kedua adiknya ikut pindah juga ke Jogja. Kebetulan bisnis alat tulis yang dikelola mamanya sedang membangun gedung distribusi baru disana. Agnes hanya berharap dia bisa berbaur dengan teman-teman baru dan juga bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Tak terasa Agnes sampai di sebuah taman kecil. Beberapa jenis bunga anggrek memenuhi taman itu. Pantas saja diberi nama taman anggrek. Mengingatkannya pada sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta dengan nama yang sama. Tempat dia dulu berkumpul atau sekedar jalan-jalan dengan teman-teman lamanya.
Agnes berbelok ke kiri. Di lihatnya papan kecil di atas pintu kelas. Kelas Duabelas IPA Dua adalah ruang kedua setelah Duabelas IPA Satu. Masih ada empat ruang lagi setelah ruang kelasnya. Tapi Agnes tidak yakin apakah itu kelas Duabelas IPA atau IPS. Tepat di depan deretan kelas itu adalah sebuah taman rumput dengan kolam ikan ditengahnya. Di seberang tampak berjejer ruang-ruang kelas juga. Tepat di seberang ruang kelasnya adalah kelas XI IPS 2. Ternyata Ari masih kelas Sebelas.
            Agnes masuk ke ruang kelasnya yang baru. Belum ada yang datang selain dirinya. Kelas itu tampak sepi. Tidak banyak poster ataupun karya siswa yang tertempel di dinding. Di bulan September seperti ini, kelas lamanya pasti sudah penuh dengan poster ataupun project buatan anak-anak sekelas. Masih teringat saat dia terakhir kali menempelkan sebuah poster besar bergambar Manga muka teman-teman sekelasnya di pintu masuk ruang kelas lamanya, XII Science 1. Agnes memang cukup berbakat dalam menggambar. Dia berharap masih bisa menyempatkan diri menggambar di kelas Duabelas ini sebelum bersiap untuk Ujian Akhir.

***

            “Ping.” Sebuah notifikasi BBm masuk menghentikan lamunannya. Diambilnya sebuah dompet berwarna ungu dari dalam tas hitamnya. Dompet yang cukup besar untuk memuat sebuah BlackBerry didalamnya. Setelah memilih silent mode, dibacanya satu BBm yang barusaja masuk. Dari Aldo Changgrawinata.
                    “Morn dear.. Have a nice FDS.. Miss u.. J..”
Agnes tersenyum membaca pesan itu. Walaupun singkat, kata-kata cowonya sudah membuat dia bersemangat. Kini mereka harus menjalani Long Distance Relationship setelah kepindahannya ke Jogja. Memikirkan hal itu membuatnya termenung.
           “Hei.. Thank you.. Smoga lancar aj hari ni.. First Day of School.. Ahaha.. I feel like a ten grader.. Miss u too there.. J..”
           “Agnes ya?” Baru saja Agnes menekan tombol send message, sebuah tepukan di lengan kirinya membuatnya cukup tersentak. Seorang cewe dengan rambut ikal sudah berada didepannya dengan senyum lebar.
           “Oh, hey. Iya. Agnes. Kamu?” Agnes pun ikut tersenyum dan mengulurkan tangannya.
           “Aku Sita. Kamu anak baru itu kan? Soalnya kemarin Bu Henny bilang bakal ada anak baru di kelas ini,” ucap Sita meyakinkan.
           “Iya. Ini kelas XII IPA 2 kan?”
          "Betul. Wah senang sekali dapet temen baru loh. Tapi yang sabar ya, soalnya temen-temen tu ributnya minta ampun kalau di kelas. Tapi tidak apa. Daripada kelas lain yang sepiiii…,” ucap Sita dengan penuh semangat.
           Agnes tersenyum mendengar Sita yang masih bersemangat menceritakan tentang kelasnya. Sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan kelas lamanya di Jakarta, ribut. Masih teringat ketika dia dan teman-teman sekelasnya dimarahi oleh Miss Silvi, kepala sekolahnya dulu, karena ribut sekali di dalam kelas sampai terdengar dari kelas lain. Seperti biasa, sehabis kelas Physical Education pasti masih ada sisa waktu buat ganti baju dan bersiap-siap. Itu adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan hobi teman-teman, ngobrol, teriak-teriak, ribut di kelas. Apalagi, guru yang mengajar sudah kembali ke ruangannya.
            “Heh, ngelamun aja!” seru Sita. Agnes tampak terkejut.
            “Eh, haha. Maaf. Aku keinget temen-temen lama,” ucap Agnes tersipu.
            “Tenang, temen-temen disini juga seru kok,” kata Sita, yakin.
            “Sepertinya iya,” Agnes tersenyum, “Eh, bolehkah lihat jadwal hari ini?” lanjutnya.
           “Boleh,” ucap Sita berbinar. Dia pun berjalan ke sebuah soft board dan menunjukkan barisan jadwal pelajaran kelas itu dalam seminggu.

*to be continued for some weeks* 
*be patient, jadilah pasien* :D 

           

Wednesday, August 29, 2012

Mendung Pagi Itu

Posted by phero at 2:02 AM 1 comments




#0 Mendung Pagi Itu #supershortstory #sss #starts

#1 Sabtu. 1 September 2012. 16:00. #sss

#2 Dingin. Seharusnya matahari yang sedang bertengger di langit sore itu bisa menghangatkan. Tapi kemarau membekukan hari. #sss

#3 Putri melangkah masuk ke sebuah rumah bercat kuning gading di ujung jalan. Rumah yang dulu selalu memberikan keceriaan. Ya. Sebelum kakaknya pergi. #sss

#4 Pergi meninggalkannya, untuk selamanya. Dua tahun lalu. Tanggal 3, bulan September, tahun 2010. #sss

#5 Putri membuka pintu kamar tidurnya yang sudah seminggu ini tak dikunjungi. Jarak yang cukup jauh antara rumah dan kampus memaksanya tinggal di sebuah rumah kos. #sss

#6 Kamar itu tak terlalu lebar. Ungu tua menyelimuti sisi-sisi ruangan itu. Sebuah rak buku kecil terdiam di sudut ruangan. #sss

#7 Putri terduduk di tempat tidur. Memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Sebuah pigura foto di atas meja belajar membuatnya tertegun. #sss

#8 Dua orang anak kecil yang sedang berlarian di pinggir pantai. Putri mengenal mereka dengan baik. Ya. Itu adalah dirinya sendiri dan Evan, kakaknya. #sss

#9 Air mata Putri menitik. Sudah dua tahun berlalu, namun kenangan tentang kakaknya masih jelas dalam pikirannya. #sss

#10 "Putri. Sudah pulang kamu, nak?" Sebuah suara lembut membuyarkan lamunan Putri. #sss

#11 "Ya, Ma," jawab Putri singkat. "Mandi dulu, Putri. Jangan lupa pakai air hangat. Akhir-akhir ini dingin sekali," ucap mamanya dari luar kamar. #sss

#12 Putri menghapus air mata yang sempat menitik, meletakkan tas yang dibawanya di atas meja, dan melangkah keluar. #sss

#13 Mamanya sudah tak terlihat lagi. Mungkin sedang di dapur, menyiapkan makan malam. #sss

#14 Putri melangkah menuju sebuah kamar di sebelah kamar tidurnya. Disentuhnya pintu bercat biru itu. Sebuah poster Paramore menempel di pintu itu. #sss

#15 Dibukanya pintu itu. Putri melangkah masuk. Pelan. #sss

#16 Kamar itu masih sama. Sebuah gitar tergeletak di atas tempat tidur. Dinding kamar itu penuh seperti hutan poster. #sss

#17 Ya. Masih sama. Seperti dua tahun lalu saat Evan masih sering memakai kamar itu. Saat Evan masih ada di dunia ini. #sss

#18 Evan terlalu sayang dengan kamar itu. Untuk tidur. Menyelesaikan tugas kuliahnya. Atau sekedar memetik gitarnya. #sss

#19 Putri duduk di atas tempat tidur Evan. Meletakkan gitar kesayangan Evan di pangkuannya. #sss

#20 D A Bm G D A Bm G ... Jemarinya memainkan Your Guardian Angel. Sekali lagi dengan mata berkaca. #sss

#21 Masih teringat saat Evan membantunya mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk. Walaupun Evan sendiri sudah lelah dengan kegiatan kampusnya. #sss

#22 Masih teringat saat Evan menemaninya bergadang. Setelah Putri putus dari mantannya. #sss

#23 Masih teringat senyum kakaknya itu. Yang selalu menenangkan hatinya. #sss

#24 "Senyum memang tidak menyelesaikan masalah, tapi setidaknya mengurangi." Masih teringat pesan Evan, beberapa hari sebelum dia pergi. #sss

#25 "Putri? Belum jadi mandi juga?" Putri terkejut melihat mamanya sudah berdiri di depannya. #sss

#26 "Eh, belum, Ma. Putri teringat kak Evan," ucap Putri sambil meletakkan gitar di atas tempat tidur. #sss

#27 Putri berusaha tersenyum, ketika mamanya mengusap airmata Putri yg menetes. #sss

#28 "Kalau kamu sedih, kakakmu di sana juga ikut sedih. Senyum saja, nak. Kakak kamu pasti sudah bahagia di sisi-Nya." #sss

#29 Putri memeluk mamanya, sebelum akhirnya dia melangkah ke kamar mandi. #sss

#30 Setelah makan malam dan mengobrol dengan orangtuanya, Putri tak segera terlelap. Tugas kampus sudah menunggunya. #sss

#31 23:31 Sunyi. Putri masih terduduk di depan notebook putih di meja belajarnya. Paper itu belum selesai juga. #sss

#32 Di tutupnya MS Word. Jemarinya mulai mengetik twitter.com di kolom pencarian. #sss

#33 "@putriindah__: Antara twitter dan paper.. *bingung*" #sss

#34 Putri mengucek kedua matanya yang terasa berat. Hampir saja ditutupnya notebook putih itu, saat sebuah notifikasi muncul. #sss

#35 "@aditya_d_saputra: *senyum* RT @putriindah__: Antara twitter dan paper.. *bingung*" #sss

#36 Sebuah retweet dari Adit. Teman sekelasnya di kampus. Kekasih Lucy, teman Putri waktu SMA. #sss

#37 "@putriindah__: Napa mlh senyum? Ini lg stress.. RT @aditya_d_saputra: *senyum* RT @putriindah__: Antara twitter dan paper.. *bingung*" #sss

#38 "@aditya_d_saputra: Senyum mang ga nyelesaiin mslh, tp setidaknya ngurangin.. Haha.. RT @putriindah__: Napa mlh senyum? Ini lg stress.." #sss

#39 Putri tertegun. Kata-kata itu. Mirip dengan pesan Evan. Ya. Pesan terakhir Evan. #sss

#40 Sejenak Putri terdiam. Dipandangnya foto dirinya dan kakaknya dalam pigura tadi. Putri pun tersenyum kecil. #sss

#41 "@putriindah__: Iya juga sih.. Kamu mirip kakak ku.. @aditya_d_saputra" #sss

#42 "@aditya_d_saputra: Hah? Kakak km siapa? Mirip apanya? RT @putriindah__: Iya juga sih.. Kamu mirip kakak ku.. @aditya_d_saputra" #sss

#43 "@putriindah__: DM aja yaa.. RT @aditya_d_saputra: Hah? Kakak kamu siapa? Mirip apanya?" #sss

#44 Putri pun mengirimkan sebuah Direct Message untuk Adit: "Hei, kata2 km tadi mirip sama kakak ku. Tp kakak ku dah meninggal." #sss

#45 "Oh ya? Mungkin kebetulan. I'm sorry to hear that." || "Iya, gapapa. Tapi kata2 itu bakalan ku ingat terus." #sss

#46 "Iya. Kakak km pasti baik bgt. Senyum n tetap semangat ya!" ||  "Hehe.. Iya.. Makasih.." #sss

#47 "Kamu gak tidur, Putri?" || "Baru mau. Tadi ngerjain tugasnya Miss Mitha." #sss

#48 "Oh ya? Wah, aku belum bikin. Lagi sibuk. Haha." || "Sibuk apa sibuk? Pacaran mulu sih sama Lucy. :D" #sss

#49 "Haha. Gak juga." || "Oh kirain." #sss

#50 Percakapan mereka pun terhenti disitu. Entah mengapa, Putri merasa ada yang beda. #sss

#51 Masih teringat dulu saat semester awal, ketika Putri dan Adit jadi satu kelompok, dan teman-temannya mulai berbisik-bisik. #sss

#52 Masih teringat, saat Adit tidak masuk kelas, dan teman-teman menanyakannya pada Putri. #sss

#53 Masih teringat, saat Adit mengajaknya makan berdua di kantin, namun Putri menolaknya karena malu. #sss

#54 Apakah itu ........ Tidak. Tidak. Itu bukan cinta, pikir Putri. #sss

#55 Tapi mengapa malam ini terasa beda? Lalu bagaimana dengan Lucy? #sss

#56 Putri melamun di depan notebook yang hanya dipandanginya dengan tatapan kosong. #sss

#57 Dipandanginya Timeline Twitter yang ramai di tengah malam itu. #sss

#58 Tak sengaja mata Putri tertuju pada sebuah tweet. "@aditya_d_saputra: #np The Only Exception - Paramore" #sss

#59 "@putriindah__: Suka paramore juga yaa. Kakak ku juga. :') RT @aditya_d_saputra: #np The Only Exception - Paramore" #sss

#60 Untuk beberapa saat Putri termangu. Menunggu reply dari Adit. Namun limabelas menit berlalu tanpa notifikasi. #sss

#61 Putri pun merebahkan badannya di atas tempat tidur, setelah membereskan notebook dan jurnal di mejanya. #sss

#62 Tapi. Nama Adit masih melintas di pikirannya. #sss

#63 Minggu, 2 September 2012. Tak seperti biasa. Mendung. Putri kembali mengerjakan paper setelah pulang dari gereja pagi. #sss

#64 Akhirnya tak ada yang istimewa di hari Minggu itu, kecuali paper yang telah selesai dikerjakan Putri sebelum makan malam. #sss

#65 Putri pun mulai mencoba melupakan rasa dihatinya. Rasa yang berbeda untuk Adit. #sss

#66 Pagi berikutnya, Putri sudah bersiap dengan barang bawaannya. Kembali ke rumah kos yang ditempatinya. Di dekat kampus. #sss

#67 Kuliah jam 7 pagi di hari Senin memaksanya bangun di pagi buta. #sss

#68 Ada yang berbeda di kelas kali ini. Menempati kelas yang sama dengan Adit membuat Putri merasa aneh. #sss

#69 Putri pun merasa sangat lega saat kuliah berakhir. Dia pun menyusuri koridor sepi menuju ke perpustakaan. #sss

#70 "Hei." Sebuah suara mengejutkan Putri dari belakang. Putri menoleh. Dan terpaku. #sss

#71 "Hei," ucap Putri. Adit sudah berdiri di depannya.. Tersenyum. Mereka pun terdiam beberapa saat. Saling memandang.  #sss

#72 "Bolehkah aku jadi kakakmu? Kakak yang berbeda. Dengan rasa sayang yang beda," ucap Adit pelan. #sss

#73 "Maksudnya?" || "Aku sayang kamu." #sss

#74 "Lalu Lucy?" || "Ternyata dia punya yang lain." #sss

#75 Mereka terdiam. Putri pun masih tertegun. #sss

#76 "Tiga September, dua tahun lalu, kakak ku pergi. Dan tiga September hari ini, kamu datang," ucap Putri. #sss

#77 Langit mendung menyelimuti pagi. Tapi bukan hati. Kali ini. #sss

#78 The End. Thank you for reading. #supershortstory #sss

Friday, August 3, 2012

Ketika Hujan

Posted by phero at 5:48 AM 0 comments





#1 Ketika Hujan #supershortstory #sss #starts

#2 Angin kembali menyapa sore. Membawa sahabat dekatnya, hujan. Cukup deras untuk menghentikan langkah Arlyn di koridor sekolah. #sss

#3 Terduduk di sebuah bangku panjang di depan ruang kelas XII IPS 2, Arlyn melepas penunjuk waktu yg melingkar di pergelangan tangan kanannya. #sss

#4 Jam 16:02. Sepi. Seharusnya dia sudah sampai di rumah satu jam yang lalu. Membaca sebuah karya Ally Carter ditemani cokelat panas. #sss

#5 Namun tugas kelompok membuatnya harus tinggal sejenak di ruang kelasnya. Menyelesaikan bagian temannya yang tidak datang karena sakit. #sss

#6 Dan ketika tiba waktu untuk pulang, hujan menyambut dengan derasnya. Tidak mungkin dia memaksakan diri bersepeda di bawah hujan sore ini. #sss

#7 "Belum di jemput, Arlyn?" Sebuah suara mengejutkan lamunan Arlyn. Seorang wanita sudah berdiri di sampingnya. #sss

#8 "Eh, Miss Atha. Saya naik sepeda kok, Miss," ucap Arlyn sedikit gugup. #sss

#9 "Mau barengan sama saya?" tanya Miss Atha sambil membuka payung berwarna ungu ditangannya. #sss

#10 "Oh, tidak Miss, terimakasih. Rumah saya dekat kok. Saya nunggu reda saja Miss," sahut Arlyn. #sss

#11 "Baiklah. Saya duluan ya." Arlyn mengangguk. Di perhatikannya guru pelajaran Bahasa Indonesia itu melangkah menuju mobil hitam di sebelah sepedanya. #sss

#12 Koridor itu kembali sepi. Hanya ada beberapa satpam yang berjaga di pos depan. #sss

#13 Hujan belum juga reda. Arlyn mulai membuka buku Science Matter dan membolak-balik halamannya. #sss

#14 Pelajaran IPA selalu membuatnya berdebar. Namun bukan guru maupun temannya yang membuatnya khawatir. #sss

#15 Arlyn harus belajar keras hanya untuk mendapatkan nilai cukup untuk Biologi dan Fisika. #sss

#16 "Hey," sebuah suara mengejutkannya lagi. #sss

#17 "Oh! Hey," Arlyn terperanjat. Seorang cowo sudah berdiri di depannya. Buku Science Matter itu terjatuh dari tangannya. #sss

#18 "Wah rajin nih," kata cowo itu sembari mengambil buku Arlyn yang terjatuh. #sss

#19 "Eh, engga. Buka-buka aja," sahut Arlyn, gugup. Dia pernah melihatnya di kantin sekolah. Namun tidak tahu namanya. #sss

#20 "Aku Darren. Kamu pasti Arlyn anak IPA 3," ucap cowok itu sambil mengulurkan tangannya. #sss

#21 "Eh iya, Arlyn. Oh, Darren, pernah dengar. Cowonya Joanna ya? Dia ga masuk hari ini," Arlyn menyambut uluran tangan Darren dengan canggung. #sss

#22 Tatapan mata cowo itu membuat Arlyn tertegun.  #sss

#23 Darren tidak menjawab pertanyaan Arlyn. Hanya tersenyum. Dan semakin membuat Arlyn kikuk. #sss

#24 "Nungguin siapa?" tanya Darren. Dia pun meletakkan tas hitamnya di lantai dan duduk di samping Arlyn. #sss

#25 "Em, nunggu ujan reda aja," jawab Arlyn. #sss

#26 "Besok lagi bawa payung ya," ucap Darren sambil menatap Arlyn, sekali lagi. #sss

#27 Arlyn hanya tersipu. Cowo itu ternyata cukup ramah. Tidak seperti yang dia kira selama ini. Cuek. Misterius. #sss

#28 Mereka pun mengobrol sambil menunggu hujan reda. Banyak hal yang belum diketahui Arlyn tentang Darren. #sss

#29 Namun yang membuat Arlyn takjub, Darren mengetahui banyak hal tentang dirinya. Arlyn pun semakin kagum. #sss

#30 Apakah Arlyn menaruh hati? Tidak. Tidak. Arlyn menjauhkan pikiran itu. Tidak mungkin dia merebutnya dari Joanna. #sss

#31 Tapi mengapa dia berdebar-debar? Mengapa dia tertegun ketika menatap matanya? Mengapa? #sss

#32 Deru mobil yang mendekat sejenak membuyarkan lamunan kecil Arlyn. #sss

#33 "Eh, aku sudah di jemput. Aku duluan ya," ucap Darren melangkahkan kakinya meninggalkan Arlyn. #sss

#34 "Oh. Ya," Arlyn hampir tidak mampu berucap. Dia hanya bisa menatap kepergian Darren bersama mobilnya. #sss

#35 Mobil itu bergerak pelan, lalu berhenti. Darren membuka pintu dan berlari di bawah hujan menghampiri Arlyn. #sss

#36 "Hey, ak titip surat buat Joanna bisa?" tanya Darren sambil mengibaskan rambutnya yg basah. #sss

#37 Arlyn mengangguk. Walaupun saat itu dia tidak tahu apakah dia harus bersyukur atau kecewa. #sss

#38 "Boleh pinjam pena sama kertas?" tanya Darren sekali lagi. Arlyn mengeluarkan selembar kertas kosong dan pena biru. #sss

#39 Darren mulai menulis sesuatu. Di lipatnya kertas itu menjadi dua dan di berikannya ke tangan Arlyn. #sss

#40 "Eh, kamu barengan aku aja pulangnya. Nanti bilang pak satpam aja nitip sepeda kamu," ucap Darren. #sss

#41 Arlyn pun mengiyakan. Setelah berpesan kepada pak satpam yang sedang jaga. Mereka pun akhirnya pulang. #sss

#42 Tidak ada yg terucap dari bibir Arlyn selama perjalanan. Ternyata Darren pun telah mengetahui di mana rumahnya. #sss

#43 "Terimakasih ya," ucap Arlyn sambil berlari masuk ke rumah. #sss

#44 Sesampainya di dalam kamar, Arlyn tertegun. Masih di pegangnya selembar kertas dari Darren untuk Joanna. #sss

#45 Mengapa dia harus membawa surat itu? Mengapa kertas itu hanya terlipat satu kali? Bolehkah dia membukanya? #sss

 #46 Arlyn terduduk di kursi kamarnya. Jemarinya membuka lipatan kertas itu. Pelan. #sss

#47 Memang, Joanna lah yang paling pantas dengan cowo itu. #sss

#48 Arlyn mulai membaca tulisan berwarna biru itu. #sss

#49 "Hey, Arlyn. Aku tahu kamu akan membaca tulisan ini. Joanna itu saudara sepupuku. Segera mandi ya. I will call you soon. Darren." #sss

Hujan Ungu

Posted by phero at 5:41 AM 0 comments

#1 Hujan Ungu #supershortstory #sss #starts

#2 Jumat 18:00 Petang tidak mengulur waktu untuk memunculkan dirinya, setelah senja puas menikmati dunia. #sss

#3 Seperti sebuah keharusan bagi Anya untuk melangkahkan kaki keluar dari sebuah gedung tua yang disebutnya perpustakaan universitas. #sss

#4 Kini paper telah menjadi sebuah hobi barunya yang menyita waktu senggang yang biasanya dia habiskan untuk melamun. #sss

#5 Ya. Melamunkan hidupnya dan menuliskannya dalam bait-bait kata di balik buku catatan kuliahnya. #sss

#6 Sebuah pilihan yang cukup sulit ketika kesenangannya menulis harus perlahan berhenti karena dia di terima di fakultas psikologi. Bukan sastra. #sss

#7 Dan kini sepertinya waktu yang dimilikinya hanya cukup untuk bercengkerama dengan tugas kuliah. #sss

#8 Menjadi seorang penulis menghantui mimpinya pada masa lalu. #sss

#9 Mimpi adalah kunci, kata seseorang. Tapi apa yang harus dia lakukan ketika kunci itu terlepas, pikir Anya. #sss

#10 Lorong di sebuah gang sempit itu lebih gelap dari biasanya. Pun langit yang sepertinya menolak untuk bersahabat. #sss

#11 Gerimis akhirnya menemani langkah Anya menyusuri petang menuju sebuah pondokan yang selama 2 tahun ini menjadi tempat berteduh. #sss

#12 Langkah-langkah itu semakin cepat seturut rintik yang makin deras. Membasahi kemeja merah yang di pakainya. #sss

#13 Anya pun menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah dengan gerbang berwarna hijau di ujung jalan. #sss

#14 Anya mencoba membuka gerbang itu dengan kunci yang di bawanya. Di bawah hujan. #sss

#15 Guyuran air di petang itu sudah cukup membasahi rambut, baju, dan beberapa jurnal yang di bawanya. #sss

#16 "Boten mbeta payung napa, Mbak?" suara ibu kos yang sedang duduk di ruang depan menyambut kepulangan Anya. #sss

#17 "Oh, nggih Bu. Saya lupa bawa payung tadi. Mari Bu," Anya melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju ruang atas. #sss

#18 Rumah itu berbentuk L dengan enam kamar menghadap ke halaman yang berderet di lantai atas. Sedangkan lantai bawah ditempati oleh keluarga ibu kos. #sss

#19 Kamar Anya terletak di ujung deretan itu. Di dekat sebuah pohon cemara yang meneduhi kamarnya jika siang tiba. #sss

#20 Kamar itu cukup lebar. Rona merah marun mendominasi ruangan itu. Anya meletakkan buku-buku yang dibawanya tadi di sebuah meja kecil. #sss

#21 Tanpa berganti baju dan hanya mengusap wajah dan rambutnya dengan handuk, Anya pun duduk di kursi dan mulai melanjutkan mengerjakan tugas kuliahnya. #sss

#22 Anya mulai menuliskan beberapa teori yang akan digunakannya untuk mendukung judul papernya. #sss

#23 Laptop dan lembaran jurnal menjadi teman akrabnya malam ini. Pun suara Hayley Williams dari speaker yang mengiringinya. #sss

#24 Besok adalah waktu yang dipilihnya untuk mengumpulkan paper. Ya. Seminggu sebelum waktu yang ditentukan oleh dosennya. #sss

#25 Anya memilih mengumpulkan tugas itu sebelum waktunya karena dia berencana pulang ke Jakarta. Ke rumah orangtuanya yang sudah satu tahun ini tidak dikunjunginya. #sss

#26 21:00 Anya masih terpaku di depan tugas kuliahnya. Jurnal yang tadi sempat basah karena hujan kini mengering. #sss

#27 Hembusan angin malam itu seperti mengharuskan Anya untuk segera menghentikan aktivitasnya. Dingin. Menusuk. #sss

#28 Namun Anya tetap berkeras akan menyelesaikan tugasnya malam ini. #sss

#29 Dibukanya almari kecil di dekat tempat tidurnya. Anya mencari penghangat kaki yang sudah lama tak dipakainya. #sss

#30 Anya membuka pintu almari yang paling bawah dan menarik kain penghangat kaki warna-warni yang tampak menyolok di antara tumpukan kaos kaki lainnya. #sss

#31 Tiba-tiba sebuah benda kecil ikut tertarik keluar dan terjatuh ke lantai. Sebuah kotak kecil. Berwarna ungu. #sss

#32 Anya seperti terhenyak. Kotak kecil berwarna ungu itu mengingatkannya pada sesuatu di masa lalu. Seseorang. #sss

#33 Diambilnya kotak itu. Anya pun duduk termangu di atas tempat tidurnya. #sss

#34 Ungu. Adalah warna yang selalu menemani hari-harinya. Dulu. #sss

#35 Ungu. Adalah warna yang selalu di pilih Darrel saat memberikan hadiah-hadiah kecil untuk Anya. #sss

#36 Darrel. Adalah nama yang pernah mengisi hatinya. Dulu. Sebelum Anya pindah ke Jogja untuk kuliah. #sss

#37 Ingatan Anya seperti terlempar kembali ke masa lalu. Dua tahun lalu. #sss

#38 Ketika dia memilih melanjutkan studi ke Jogja. Dan meninggalkan Jakarta. Dan mengakhiri cintanya. #sss

#39 Kotak kecil itu adalah bingkisan terakhir dari Darrel sebelum Anya berangkat ke Jogja. Belum pernah dibukanya. #sss

#40 Jemari Anya mulai merobek kertas ungu pembungkus kotak itu. Kotak itu pun berwarna ungu. Lagi. #sss

#42 Sebuah buku bersampul ungu. Anya membuka halaman pertama buku itu. #sss

#43 Sebuah kalimat tertulis rapi di tengah halaman pertama. #sss

#44 "085228008417 I will always be here for you.. To accompany you writing our story.. Again.. On this book.. Darrel" #sss

#45 Anya tertegun. Tangannya meraih telepon genggam yang berada di bawah bantal merah marunnya. #sss

#46 "Halo. Ini sapa ya?" Suara itu kembali terngiang di telinga Anya. Darrel. Siapa lagi?

#47 Anya masih terdiam. Seperti tak sanggup mengucapkan kata. #sss

#48 "Halo?" kembali suara Darrel terdengar. #sss

#49 "Em. Ini Anya," ucap Anya. Darrel tidak menyahut. Untuk beberapa menit mereka hening. #sss

#50 "Oh, hey Anya. Apa kabar?" nada suara Darrel menjadi datar. Pelan. #sss

#51 "Baik. Kamu?" "Baik. Habis main basket." "Oh masih suka main basket ya. Maaf ganggu." "Ga papa. Ini dah mau pulang kok." #sss

#52 Kembali mereka terdiam. Anya tak tahu harus berkata apa lagi. #sss

#53 "Eh, hari minggu ini ada waktu ga?" ucap Anya teringat akan rencananya kembali ke Jakarta. #sss

#54 "Oh. Ada." "Besok sore aku ke Jakarta." "Oh." "Kalau ada waktu kita ketemu." "Oh. Oke." "Thank you. Eh. Hati-hati pulangnya. Jangan ngebut." #sss

#55 "Oke. Ak di boncengin temen kok." "Naik motor?" "Iya. Motor dia baru." "Oh. Oke. Thank you, Darrel. Good night." "Night." #sss

#56 Terdengar suara riuh dan siulan kecil di seberang sebelum Anya mengakhiri panggilan. Kini dia kembali termenung. #sss

#57 Setelah menghela nafas panjang, Anya bergegas melanjutkan tugasnya malam ini. Dengan senyum kecil di bibirnya. #sss

#58 Minggu 07:00 Anya duduk di depan rumahnya. Bunga lavender kesukaan mamanya sudah tumbuh mekar di sekeliling kolam ikan. #sss

#59 Anya pun menelepon Darrel kembali. Semoga mereka bisa bertemu pagi ini. #sss

#60 "Halo." "Eh. Darrel. Ketemuannya pagi aja bisa?" "Maaf. Ini Mike, temen Darrel. Eh, ini Anya kan?" "Iya." "Anya ke rumah Darrel aja ya skrg." #sss

#61 Anya pun menyusuri Jakarta pagi itu. Sendirian dengan mobil mamanya. Tak lupa di bawanya buku bersampul ungu dari Darrel.. #sss

#62 Tidak biasanya Anya ke rumah Darrel sendirian, tanpa di jemput. Namun tidak apa, pikir Anya, dia yang mengajak bertemu. #sss

#63 "Darrel di mana?" tanya Anya ketika sampai di rumah Darrel dan bertemu dengan Mike saja. #sss

#64 "Eh. Ayo ku antar," ucap Mike yang terlihat gugup. Mike pun berjalan meninggalkan rumah Darrel. Anya mengikutinya. #sss

#65 Langit pagi itu gelap. Angin menderu. Sampai di ujung gang tiba-tiba Mike berbelok dan memasuki sebuah tempat lapang. Anya terhenyak. #sss

#66 "Mike? Darrel ngapain di sini? Mamanya sudah sembuh kan? Operasi jantungnya sukses kan? Mamanya ga kenapa-kenapa kan?" tanya Anya khawatir. #sss

#67 "Bukan mamanya," ucap Mike. Dia menghentikan langkahnya. #sss

#68 Anya termangu. Dan bersimpuh ke tanah. Angin bertiup semakin kencang. #sss

#69 "Darrel Pramaditya, 10 Juni 2012" tertulis di sebuah batu nisan di atas tanah merah pagi ini. #sss

#70 "Darrel.. Kecelakaan...," ucap Mike terbata. #sss

#71 Air mata Anya menitik di atas buku bersampul ungu yg digenggamannya. Seiring bunga-bunga ungu yang gugur tertiup angin. #sss

#72 The Purple Rain. The End. Thank you for reading. #sss

Wednesday, October 17, 2012

Ketika Pagi







“Halo. Eh. Kelas Duabelas IPA Dua sebelah mana ya?” Agnes menghentikan langkahnya tepat di depan seorang siswa cowo yang sedang memarkirkan motornya. Masih cukup pagi untuk memulai pelajaran hari ini di sekolah baru. Agnes masih punya waktu kira-kira satu jam untuk baca-baca buku pelajaran atau sekedar berkenalan dengan teman-teman baru dan kelas baru.
            “Oh. Duabelas IPA dua ya?” Cowo bermata sayu itu menoleh sambil mengunci motornya, “Lurus aja. Nanti ketemu taman anggrek, belok kiri.”
“Makasih ya. Sorry aku belum hafal,” ucap Agnes gugup, mencoba terbiasa menggunakan kata “aku”, bukan “gue”. Dia tidak mau di cap terlalu “Jakarta” oleh teman-teman barunya nanti. Mereka mulai berjalan memasuki halaman dalam sekolah. Sebuah baliho besar tergantung di atas gerbang dengan tulisan “Welcome to the Green School, SMU Negeri 2 Yogyakarta”.
            “Santai aja. Nanti juga hafal. Kelas Sepuluh ya? Mau cari siapa di Duabelas IPA Dua?” tanya cowo itu sambil merapikan jaket hitamnya. Tidak ada senyum dari cowo itu. Tetapi, tidak juga ada nada ketus yang terucap.
            “Eh. Aku. Aku kelas Duabelas. Duabelas IPA Dua. Baru pindah,” jawab Agnes masih cukup gugup, namun dia berusaha tuk tersenyum.
            “Wah kirain kelas Sepuluh. Panggilnya kakak sapa nih?” cowo itu mulai tersenyum dan mengulurkan tangannya.
            Agnes pun menyambutnya, “Agnes aja.”
            “Aku Ari. Kalau butuh bantuan, datang aja ke kelas seberang,” Ari tertawa kecil.
Agnes hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Keduanya masih berjalan beriringan melewati koridor utama. Hanya ada beberapa siswa yang mereka temui sepanjang koridor. Pintu-pintu kelas sudah dibuka semua, tapi belum banyak guru yang datang. Seseorang berseragam Cleaning Service tampak sibuk mengeluarkan bak sampah kosong dari dalam kelas.
Pripun Pak Danu? Semangat?” Ari menepuk punggung orang itu dengan ramah.
“Wah semangat terus saya,” sahut Pak Danu dengan senyum lebarnya.
“Sip, Pak.”
Agnes tersenyum lega melihat keakraban kedua orang itu. Dalam hati dia berharap semoga sekolah barunya ini juga mempunyai suasana yang sama. Akrab.
“Eh kakak. Aku ke ruang OSIS dulu ya. Mau ambil bola, kemarin ketinggalan,” ucap Ari sambil menunjuk sebuah ruang di ujung kanan.
“Oh, oke. Aku lurus aja kan?” tanya Agnes memastikan dia tidak tersesat di sekolah barunya.
“Iya. Jangan lupa belok kiri ya. Hehe. Sampai ketemu, kakak,” Ari pun berbelok ke kanan menuju sebuah ruang kecil dengan pintu berwarna biru tua.

***

Agnes melanjutkan langkahnya sambil mencoba menghafalkan ruang-ruang baru yang dilewatinya. The Little Things She Needs hitam menemani langkahnya. Rambutnya yang panjang melambai tertiup angin pagi itu. Seragamnya masih terlihat baru dan rapi. Jika papanya tidak dipindahtugaskan ke Jogja, mungkin Agnes tidak perlu beradaptasi dengan suasana baru seperti ini. Namun apa boleh buat, dia harus pindah sekolah di pertengahan semester pertama kelas Duabelas. Kalaupun tetap tinggal di Jakarta, dia harus tinggal sendiri dan mengurus rumah sendiri karena mama dan kedua adiknya ikut pindah juga ke Jogja. Kebetulan bisnis alat tulis yang dikelola mamanya sedang membangun gedung distribusi baru disana. Agnes hanya berharap dia bisa berbaur dengan teman-teman baru dan juga bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Tak terasa Agnes sampai di sebuah taman kecil. Beberapa jenis bunga anggrek memenuhi taman itu. Pantas saja diberi nama taman anggrek. Mengingatkannya pada sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta dengan nama yang sama. Tempat dia dulu berkumpul atau sekedar jalan-jalan dengan teman-teman lamanya.
Agnes berbelok ke kiri. Di lihatnya papan kecil di atas pintu kelas. Kelas Duabelas IPA Dua adalah ruang kedua setelah Duabelas IPA Satu. Masih ada empat ruang lagi setelah ruang kelasnya. Tapi Agnes tidak yakin apakah itu kelas Duabelas IPA atau IPS. Tepat di depan deretan kelas itu adalah sebuah taman rumput dengan kolam ikan ditengahnya. Di seberang tampak berjejer ruang-ruang kelas juga. Tepat di seberang ruang kelasnya adalah kelas XI IPS 2. Ternyata Ari masih kelas Sebelas.
            Agnes masuk ke ruang kelasnya yang baru. Belum ada yang datang selain dirinya. Kelas itu tampak sepi. Tidak banyak poster ataupun karya siswa yang tertempel di dinding. Di bulan September seperti ini, kelas lamanya pasti sudah penuh dengan poster ataupun project buatan anak-anak sekelas. Masih teringat saat dia terakhir kali menempelkan sebuah poster besar bergambar Manga muka teman-teman sekelasnya di pintu masuk ruang kelas lamanya, XII Science 1. Agnes memang cukup berbakat dalam menggambar. Dia berharap masih bisa menyempatkan diri menggambar di kelas Duabelas ini sebelum bersiap untuk Ujian Akhir.

***

            “Ping.” Sebuah notifikasi BBm masuk menghentikan lamunannya. Diambilnya sebuah dompet berwarna ungu dari dalam tas hitamnya. Dompet yang cukup besar untuk memuat sebuah BlackBerry didalamnya. Setelah memilih silent mode, dibacanya satu BBm yang barusaja masuk. Dari Aldo Changgrawinata.
                    “Morn dear.. Have a nice FDS.. Miss u.. J..”
Agnes tersenyum membaca pesan itu. Walaupun singkat, kata-kata cowonya sudah membuat dia bersemangat. Kini mereka harus menjalani Long Distance Relationship setelah kepindahannya ke Jogja. Memikirkan hal itu membuatnya termenung.
           “Hei.. Thank you.. Smoga lancar aj hari ni.. First Day of School.. Ahaha.. I feel like a ten grader.. Miss u too there.. J..”
           “Agnes ya?” Baru saja Agnes menekan tombol send message, sebuah tepukan di lengan kirinya membuatnya cukup tersentak. Seorang cewe dengan rambut ikal sudah berada didepannya dengan senyum lebar.
           “Oh, hey. Iya. Agnes. Kamu?” Agnes pun ikut tersenyum dan mengulurkan tangannya.
           “Aku Sita. Kamu anak baru itu kan? Soalnya kemarin Bu Henny bilang bakal ada anak baru di kelas ini,” ucap Sita meyakinkan.
           “Iya. Ini kelas XII IPA 2 kan?”
          "Betul. Wah senang sekali dapet temen baru loh. Tapi yang sabar ya, soalnya temen-temen tu ributnya minta ampun kalau di kelas. Tapi tidak apa. Daripada kelas lain yang sepiiii…,” ucap Sita dengan penuh semangat.
           Agnes tersenyum mendengar Sita yang masih bersemangat menceritakan tentang kelasnya. Sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan kelas lamanya di Jakarta, ribut. Masih teringat ketika dia dan teman-teman sekelasnya dimarahi oleh Miss Silvi, kepala sekolahnya dulu, karena ribut sekali di dalam kelas sampai terdengar dari kelas lain. Seperti biasa, sehabis kelas Physical Education pasti masih ada sisa waktu buat ganti baju dan bersiap-siap. Itu adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan hobi teman-teman, ngobrol, teriak-teriak, ribut di kelas. Apalagi, guru yang mengajar sudah kembali ke ruangannya.
            “Heh, ngelamun aja!” seru Sita. Agnes tampak terkejut.
            “Eh, haha. Maaf. Aku keinget temen-temen lama,” ucap Agnes tersipu.
            “Tenang, temen-temen disini juga seru kok,” kata Sita, yakin.
            “Sepertinya iya,” Agnes tersenyum, “Eh, bolehkah lihat jadwal hari ini?” lanjutnya.
           “Boleh,” ucap Sita berbinar. Dia pun berjalan ke sebuah soft board dan menunjukkan barisan jadwal pelajaran kelas itu dalam seminggu.

*to be continued for some weeks* 
*be patient, jadilah pasien* :D 

           

Wednesday, August 29, 2012

Mendung Pagi Itu





#0 Mendung Pagi Itu #supershortstory #sss #starts

#1 Sabtu. 1 September 2012. 16:00. #sss

#2 Dingin. Seharusnya matahari yang sedang bertengger di langit sore itu bisa menghangatkan. Tapi kemarau membekukan hari. #sss

#3 Putri melangkah masuk ke sebuah rumah bercat kuning gading di ujung jalan. Rumah yang dulu selalu memberikan keceriaan. Ya. Sebelum kakaknya pergi. #sss

#4 Pergi meninggalkannya, untuk selamanya. Dua tahun lalu. Tanggal 3, bulan September, tahun 2010. #sss

#5 Putri membuka pintu kamar tidurnya yang sudah seminggu ini tak dikunjungi. Jarak yang cukup jauh antara rumah dan kampus memaksanya tinggal di sebuah rumah kos. #sss

#6 Kamar itu tak terlalu lebar. Ungu tua menyelimuti sisi-sisi ruangan itu. Sebuah rak buku kecil terdiam di sudut ruangan. #sss

#7 Putri terduduk di tempat tidur. Memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Sebuah pigura foto di atas meja belajar membuatnya tertegun. #sss

#8 Dua orang anak kecil yang sedang berlarian di pinggir pantai. Putri mengenal mereka dengan baik. Ya. Itu adalah dirinya sendiri dan Evan, kakaknya. #sss

#9 Air mata Putri menitik. Sudah dua tahun berlalu, namun kenangan tentang kakaknya masih jelas dalam pikirannya. #sss

#10 "Putri. Sudah pulang kamu, nak?" Sebuah suara lembut membuyarkan lamunan Putri. #sss

#11 "Ya, Ma," jawab Putri singkat. "Mandi dulu, Putri. Jangan lupa pakai air hangat. Akhir-akhir ini dingin sekali," ucap mamanya dari luar kamar. #sss

#12 Putri menghapus air mata yang sempat menitik, meletakkan tas yang dibawanya di atas meja, dan melangkah keluar. #sss

#13 Mamanya sudah tak terlihat lagi. Mungkin sedang di dapur, menyiapkan makan malam. #sss

#14 Putri melangkah menuju sebuah kamar di sebelah kamar tidurnya. Disentuhnya pintu bercat biru itu. Sebuah poster Paramore menempel di pintu itu. #sss

#15 Dibukanya pintu itu. Putri melangkah masuk. Pelan. #sss

#16 Kamar itu masih sama. Sebuah gitar tergeletak di atas tempat tidur. Dinding kamar itu penuh seperti hutan poster. #sss

#17 Ya. Masih sama. Seperti dua tahun lalu saat Evan masih sering memakai kamar itu. Saat Evan masih ada di dunia ini. #sss

#18 Evan terlalu sayang dengan kamar itu. Untuk tidur. Menyelesaikan tugas kuliahnya. Atau sekedar memetik gitarnya. #sss

#19 Putri duduk di atas tempat tidur Evan. Meletakkan gitar kesayangan Evan di pangkuannya. #sss

#20 D A Bm G D A Bm G ... Jemarinya memainkan Your Guardian Angel. Sekali lagi dengan mata berkaca. #sss

#21 Masih teringat saat Evan membantunya mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk. Walaupun Evan sendiri sudah lelah dengan kegiatan kampusnya. #sss

#22 Masih teringat saat Evan menemaninya bergadang. Setelah Putri putus dari mantannya. #sss

#23 Masih teringat senyum kakaknya itu. Yang selalu menenangkan hatinya. #sss

#24 "Senyum memang tidak menyelesaikan masalah, tapi setidaknya mengurangi." Masih teringat pesan Evan, beberapa hari sebelum dia pergi. #sss

#25 "Putri? Belum jadi mandi juga?" Putri terkejut melihat mamanya sudah berdiri di depannya. #sss

#26 "Eh, belum, Ma. Putri teringat kak Evan," ucap Putri sambil meletakkan gitar di atas tempat tidur. #sss

#27 Putri berusaha tersenyum, ketika mamanya mengusap airmata Putri yg menetes. #sss

#28 "Kalau kamu sedih, kakakmu di sana juga ikut sedih. Senyum saja, nak. Kakak kamu pasti sudah bahagia di sisi-Nya." #sss

#29 Putri memeluk mamanya, sebelum akhirnya dia melangkah ke kamar mandi. #sss

#30 Setelah makan malam dan mengobrol dengan orangtuanya, Putri tak segera terlelap. Tugas kampus sudah menunggunya. #sss

#31 23:31 Sunyi. Putri masih terduduk di depan notebook putih di meja belajarnya. Paper itu belum selesai juga. #sss

#32 Di tutupnya MS Word. Jemarinya mulai mengetik twitter.com di kolom pencarian. #sss

#33 "@putriindah__: Antara twitter dan paper.. *bingung*" #sss

#34 Putri mengucek kedua matanya yang terasa berat. Hampir saja ditutupnya notebook putih itu, saat sebuah notifikasi muncul. #sss

#35 "@aditya_d_saputra: *senyum* RT @putriindah__: Antara twitter dan paper.. *bingung*" #sss

#36 Sebuah retweet dari Adit. Teman sekelasnya di kampus. Kekasih Lucy, teman Putri waktu SMA. #sss

#37 "@putriindah__: Napa mlh senyum? Ini lg stress.. RT @aditya_d_saputra: *senyum* RT @putriindah__: Antara twitter dan paper.. *bingung*" #sss

#38 "@aditya_d_saputra: Senyum mang ga nyelesaiin mslh, tp setidaknya ngurangin.. Haha.. RT @putriindah__: Napa mlh senyum? Ini lg stress.." #sss

#39 Putri tertegun. Kata-kata itu. Mirip dengan pesan Evan. Ya. Pesan terakhir Evan. #sss

#40 Sejenak Putri terdiam. Dipandangnya foto dirinya dan kakaknya dalam pigura tadi. Putri pun tersenyum kecil. #sss

#41 "@putriindah__: Iya juga sih.. Kamu mirip kakak ku.. @aditya_d_saputra" #sss

#42 "@aditya_d_saputra: Hah? Kakak km siapa? Mirip apanya? RT @putriindah__: Iya juga sih.. Kamu mirip kakak ku.. @aditya_d_saputra" #sss

#43 "@putriindah__: DM aja yaa.. RT @aditya_d_saputra: Hah? Kakak kamu siapa? Mirip apanya?" #sss

#44 Putri pun mengirimkan sebuah Direct Message untuk Adit: "Hei, kata2 km tadi mirip sama kakak ku. Tp kakak ku dah meninggal." #sss

#45 "Oh ya? Mungkin kebetulan. I'm sorry to hear that." || "Iya, gapapa. Tapi kata2 itu bakalan ku ingat terus." #sss

#46 "Iya. Kakak km pasti baik bgt. Senyum n tetap semangat ya!" ||  "Hehe.. Iya.. Makasih.." #sss

#47 "Kamu gak tidur, Putri?" || "Baru mau. Tadi ngerjain tugasnya Miss Mitha." #sss

#48 "Oh ya? Wah, aku belum bikin. Lagi sibuk. Haha." || "Sibuk apa sibuk? Pacaran mulu sih sama Lucy. :D" #sss

#49 "Haha. Gak juga." || "Oh kirain." #sss

#50 Percakapan mereka pun terhenti disitu. Entah mengapa, Putri merasa ada yang beda. #sss

#51 Masih teringat dulu saat semester awal, ketika Putri dan Adit jadi satu kelompok, dan teman-temannya mulai berbisik-bisik. #sss

#52 Masih teringat, saat Adit tidak masuk kelas, dan teman-teman menanyakannya pada Putri. #sss

#53 Masih teringat, saat Adit mengajaknya makan berdua di kantin, namun Putri menolaknya karena malu. #sss

#54 Apakah itu ........ Tidak. Tidak. Itu bukan cinta, pikir Putri. #sss

#55 Tapi mengapa malam ini terasa beda? Lalu bagaimana dengan Lucy? #sss

#56 Putri melamun di depan notebook yang hanya dipandanginya dengan tatapan kosong. #sss

#57 Dipandanginya Timeline Twitter yang ramai di tengah malam itu. #sss

#58 Tak sengaja mata Putri tertuju pada sebuah tweet. "@aditya_d_saputra: #np The Only Exception - Paramore" #sss

#59 "@putriindah__: Suka paramore juga yaa. Kakak ku juga. :') RT @aditya_d_saputra: #np The Only Exception - Paramore" #sss

#60 Untuk beberapa saat Putri termangu. Menunggu reply dari Adit. Namun limabelas menit berlalu tanpa notifikasi. #sss

#61 Putri pun merebahkan badannya di atas tempat tidur, setelah membereskan notebook dan jurnal di mejanya. #sss

#62 Tapi. Nama Adit masih melintas di pikirannya. #sss

#63 Minggu, 2 September 2012. Tak seperti biasa. Mendung. Putri kembali mengerjakan paper setelah pulang dari gereja pagi. #sss

#64 Akhirnya tak ada yang istimewa di hari Minggu itu, kecuali paper yang telah selesai dikerjakan Putri sebelum makan malam. #sss

#65 Putri pun mulai mencoba melupakan rasa dihatinya. Rasa yang berbeda untuk Adit. #sss

#66 Pagi berikutnya, Putri sudah bersiap dengan barang bawaannya. Kembali ke rumah kos yang ditempatinya. Di dekat kampus. #sss

#67 Kuliah jam 7 pagi di hari Senin memaksanya bangun di pagi buta. #sss

#68 Ada yang berbeda di kelas kali ini. Menempati kelas yang sama dengan Adit membuat Putri merasa aneh. #sss

#69 Putri pun merasa sangat lega saat kuliah berakhir. Dia pun menyusuri koridor sepi menuju ke perpustakaan. #sss

#70 "Hei." Sebuah suara mengejutkan Putri dari belakang. Putri menoleh. Dan terpaku. #sss

#71 "Hei," ucap Putri. Adit sudah berdiri di depannya.. Tersenyum. Mereka pun terdiam beberapa saat. Saling memandang.  #sss

#72 "Bolehkah aku jadi kakakmu? Kakak yang berbeda. Dengan rasa sayang yang beda," ucap Adit pelan. #sss

#73 "Maksudnya?" || "Aku sayang kamu." #sss

#74 "Lalu Lucy?" || "Ternyata dia punya yang lain." #sss

#75 Mereka terdiam. Putri pun masih tertegun. #sss

#76 "Tiga September, dua tahun lalu, kakak ku pergi. Dan tiga September hari ini, kamu datang," ucap Putri. #sss

#77 Langit mendung menyelimuti pagi. Tapi bukan hati. Kali ini. #sss

#78 The End. Thank you for reading. #supershortstory #sss

Friday, August 3, 2012

Ketika Hujan






#1 Ketika Hujan #supershortstory #sss #starts

#2 Angin kembali menyapa sore. Membawa sahabat dekatnya, hujan. Cukup deras untuk menghentikan langkah Arlyn di koridor sekolah. #sss

#3 Terduduk di sebuah bangku panjang di depan ruang kelas XII IPS 2, Arlyn melepas penunjuk waktu yg melingkar di pergelangan tangan kanannya. #sss

#4 Jam 16:02. Sepi. Seharusnya dia sudah sampai di rumah satu jam yang lalu. Membaca sebuah karya Ally Carter ditemani cokelat panas. #sss

#5 Namun tugas kelompok membuatnya harus tinggal sejenak di ruang kelasnya. Menyelesaikan bagian temannya yang tidak datang karena sakit. #sss

#6 Dan ketika tiba waktu untuk pulang, hujan menyambut dengan derasnya. Tidak mungkin dia memaksakan diri bersepeda di bawah hujan sore ini. #sss

#7 "Belum di jemput, Arlyn?" Sebuah suara mengejutkan lamunan Arlyn. Seorang wanita sudah berdiri di sampingnya. #sss

#8 "Eh, Miss Atha. Saya naik sepeda kok, Miss," ucap Arlyn sedikit gugup. #sss

#9 "Mau barengan sama saya?" tanya Miss Atha sambil membuka payung berwarna ungu ditangannya. #sss

#10 "Oh, tidak Miss, terimakasih. Rumah saya dekat kok. Saya nunggu reda saja Miss," sahut Arlyn. #sss

#11 "Baiklah. Saya duluan ya." Arlyn mengangguk. Di perhatikannya guru pelajaran Bahasa Indonesia itu melangkah menuju mobil hitam di sebelah sepedanya. #sss

#12 Koridor itu kembali sepi. Hanya ada beberapa satpam yang berjaga di pos depan. #sss

#13 Hujan belum juga reda. Arlyn mulai membuka buku Science Matter dan membolak-balik halamannya. #sss

#14 Pelajaran IPA selalu membuatnya berdebar. Namun bukan guru maupun temannya yang membuatnya khawatir. #sss

#15 Arlyn harus belajar keras hanya untuk mendapatkan nilai cukup untuk Biologi dan Fisika. #sss

#16 "Hey," sebuah suara mengejutkannya lagi. #sss

#17 "Oh! Hey," Arlyn terperanjat. Seorang cowo sudah berdiri di depannya. Buku Science Matter itu terjatuh dari tangannya. #sss

#18 "Wah rajin nih," kata cowo itu sembari mengambil buku Arlyn yang terjatuh. #sss

#19 "Eh, engga. Buka-buka aja," sahut Arlyn, gugup. Dia pernah melihatnya di kantin sekolah. Namun tidak tahu namanya. #sss

#20 "Aku Darren. Kamu pasti Arlyn anak IPA 3," ucap cowok itu sambil mengulurkan tangannya. #sss

#21 "Eh iya, Arlyn. Oh, Darren, pernah dengar. Cowonya Joanna ya? Dia ga masuk hari ini," Arlyn menyambut uluran tangan Darren dengan canggung. #sss

#22 Tatapan mata cowo itu membuat Arlyn tertegun.  #sss

#23 Darren tidak menjawab pertanyaan Arlyn. Hanya tersenyum. Dan semakin membuat Arlyn kikuk. #sss

#24 "Nungguin siapa?" tanya Darren. Dia pun meletakkan tas hitamnya di lantai dan duduk di samping Arlyn. #sss

#25 "Em, nunggu ujan reda aja," jawab Arlyn. #sss

#26 "Besok lagi bawa payung ya," ucap Darren sambil menatap Arlyn, sekali lagi. #sss

#27 Arlyn hanya tersipu. Cowo itu ternyata cukup ramah. Tidak seperti yang dia kira selama ini. Cuek. Misterius. #sss

#28 Mereka pun mengobrol sambil menunggu hujan reda. Banyak hal yang belum diketahui Arlyn tentang Darren. #sss

#29 Namun yang membuat Arlyn takjub, Darren mengetahui banyak hal tentang dirinya. Arlyn pun semakin kagum. #sss

#30 Apakah Arlyn menaruh hati? Tidak. Tidak. Arlyn menjauhkan pikiran itu. Tidak mungkin dia merebutnya dari Joanna. #sss

#31 Tapi mengapa dia berdebar-debar? Mengapa dia tertegun ketika menatap matanya? Mengapa? #sss

#32 Deru mobil yang mendekat sejenak membuyarkan lamunan kecil Arlyn. #sss

#33 "Eh, aku sudah di jemput. Aku duluan ya," ucap Darren melangkahkan kakinya meninggalkan Arlyn. #sss

#34 "Oh. Ya," Arlyn hampir tidak mampu berucap. Dia hanya bisa menatap kepergian Darren bersama mobilnya. #sss

#35 Mobil itu bergerak pelan, lalu berhenti. Darren membuka pintu dan berlari di bawah hujan menghampiri Arlyn. #sss

#36 "Hey, ak titip surat buat Joanna bisa?" tanya Darren sambil mengibaskan rambutnya yg basah. #sss

#37 Arlyn mengangguk. Walaupun saat itu dia tidak tahu apakah dia harus bersyukur atau kecewa. #sss

#38 "Boleh pinjam pena sama kertas?" tanya Darren sekali lagi. Arlyn mengeluarkan selembar kertas kosong dan pena biru. #sss

#39 Darren mulai menulis sesuatu. Di lipatnya kertas itu menjadi dua dan di berikannya ke tangan Arlyn. #sss

#40 "Eh, kamu barengan aku aja pulangnya. Nanti bilang pak satpam aja nitip sepeda kamu," ucap Darren. #sss

#41 Arlyn pun mengiyakan. Setelah berpesan kepada pak satpam yang sedang jaga. Mereka pun akhirnya pulang. #sss

#42 Tidak ada yg terucap dari bibir Arlyn selama perjalanan. Ternyata Darren pun telah mengetahui di mana rumahnya. #sss

#43 "Terimakasih ya," ucap Arlyn sambil berlari masuk ke rumah. #sss

#44 Sesampainya di dalam kamar, Arlyn tertegun. Masih di pegangnya selembar kertas dari Darren untuk Joanna. #sss

#45 Mengapa dia harus membawa surat itu? Mengapa kertas itu hanya terlipat satu kali? Bolehkah dia membukanya? #sss

 #46 Arlyn terduduk di kursi kamarnya. Jemarinya membuka lipatan kertas itu. Pelan. #sss

#47 Memang, Joanna lah yang paling pantas dengan cowo itu. #sss

#48 Arlyn mulai membaca tulisan berwarna biru itu. #sss

#49 "Hey, Arlyn. Aku tahu kamu akan membaca tulisan ini. Joanna itu saudara sepupuku. Segera mandi ya. I will call you soon. Darren." #sss

Hujan Ungu


#1 Hujan Ungu #supershortstory #sss #starts

#2 Jumat 18:00 Petang tidak mengulur waktu untuk memunculkan dirinya, setelah senja puas menikmati dunia. #sss

#3 Seperti sebuah keharusan bagi Anya untuk melangkahkan kaki keluar dari sebuah gedung tua yang disebutnya perpustakaan universitas. #sss

#4 Kini paper telah menjadi sebuah hobi barunya yang menyita waktu senggang yang biasanya dia habiskan untuk melamun. #sss

#5 Ya. Melamunkan hidupnya dan menuliskannya dalam bait-bait kata di balik buku catatan kuliahnya. #sss

#6 Sebuah pilihan yang cukup sulit ketika kesenangannya menulis harus perlahan berhenti karena dia di terima di fakultas psikologi. Bukan sastra. #sss

#7 Dan kini sepertinya waktu yang dimilikinya hanya cukup untuk bercengkerama dengan tugas kuliah. #sss

#8 Menjadi seorang penulis menghantui mimpinya pada masa lalu. #sss

#9 Mimpi adalah kunci, kata seseorang. Tapi apa yang harus dia lakukan ketika kunci itu terlepas, pikir Anya. #sss

#10 Lorong di sebuah gang sempit itu lebih gelap dari biasanya. Pun langit yang sepertinya menolak untuk bersahabat. #sss

#11 Gerimis akhirnya menemani langkah Anya menyusuri petang menuju sebuah pondokan yang selama 2 tahun ini menjadi tempat berteduh. #sss

#12 Langkah-langkah itu semakin cepat seturut rintik yang makin deras. Membasahi kemeja merah yang di pakainya. #sss

#13 Anya pun menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah dengan gerbang berwarna hijau di ujung jalan. #sss

#14 Anya mencoba membuka gerbang itu dengan kunci yang di bawanya. Di bawah hujan. #sss

#15 Guyuran air di petang itu sudah cukup membasahi rambut, baju, dan beberapa jurnal yang di bawanya. #sss

#16 "Boten mbeta payung napa, Mbak?" suara ibu kos yang sedang duduk di ruang depan menyambut kepulangan Anya. #sss

#17 "Oh, nggih Bu. Saya lupa bawa payung tadi. Mari Bu," Anya melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju ruang atas. #sss

#18 Rumah itu berbentuk L dengan enam kamar menghadap ke halaman yang berderet di lantai atas. Sedangkan lantai bawah ditempati oleh keluarga ibu kos. #sss

#19 Kamar Anya terletak di ujung deretan itu. Di dekat sebuah pohon cemara yang meneduhi kamarnya jika siang tiba. #sss

#20 Kamar itu cukup lebar. Rona merah marun mendominasi ruangan itu. Anya meletakkan buku-buku yang dibawanya tadi di sebuah meja kecil. #sss

#21 Tanpa berganti baju dan hanya mengusap wajah dan rambutnya dengan handuk, Anya pun duduk di kursi dan mulai melanjutkan mengerjakan tugas kuliahnya. #sss

#22 Anya mulai menuliskan beberapa teori yang akan digunakannya untuk mendukung judul papernya. #sss

#23 Laptop dan lembaran jurnal menjadi teman akrabnya malam ini. Pun suara Hayley Williams dari speaker yang mengiringinya. #sss

#24 Besok adalah waktu yang dipilihnya untuk mengumpulkan paper. Ya. Seminggu sebelum waktu yang ditentukan oleh dosennya. #sss

#25 Anya memilih mengumpulkan tugas itu sebelum waktunya karena dia berencana pulang ke Jakarta. Ke rumah orangtuanya yang sudah satu tahun ini tidak dikunjunginya. #sss

#26 21:00 Anya masih terpaku di depan tugas kuliahnya. Jurnal yang tadi sempat basah karena hujan kini mengering. #sss

#27 Hembusan angin malam itu seperti mengharuskan Anya untuk segera menghentikan aktivitasnya. Dingin. Menusuk. #sss

#28 Namun Anya tetap berkeras akan menyelesaikan tugasnya malam ini. #sss

#29 Dibukanya almari kecil di dekat tempat tidurnya. Anya mencari penghangat kaki yang sudah lama tak dipakainya. #sss

#30 Anya membuka pintu almari yang paling bawah dan menarik kain penghangat kaki warna-warni yang tampak menyolok di antara tumpukan kaos kaki lainnya. #sss

#31 Tiba-tiba sebuah benda kecil ikut tertarik keluar dan terjatuh ke lantai. Sebuah kotak kecil. Berwarna ungu. #sss

#32 Anya seperti terhenyak. Kotak kecil berwarna ungu itu mengingatkannya pada sesuatu di masa lalu. Seseorang. #sss

#33 Diambilnya kotak itu. Anya pun duduk termangu di atas tempat tidurnya. #sss

#34 Ungu. Adalah warna yang selalu menemani hari-harinya. Dulu. #sss

#35 Ungu. Adalah warna yang selalu di pilih Darrel saat memberikan hadiah-hadiah kecil untuk Anya. #sss

#36 Darrel. Adalah nama yang pernah mengisi hatinya. Dulu. Sebelum Anya pindah ke Jogja untuk kuliah. #sss

#37 Ingatan Anya seperti terlempar kembali ke masa lalu. Dua tahun lalu. #sss

#38 Ketika dia memilih melanjutkan studi ke Jogja. Dan meninggalkan Jakarta. Dan mengakhiri cintanya. #sss

#39 Kotak kecil itu adalah bingkisan terakhir dari Darrel sebelum Anya berangkat ke Jogja. Belum pernah dibukanya. #sss

#40 Jemari Anya mulai merobek kertas ungu pembungkus kotak itu. Kotak itu pun berwarna ungu. Lagi. #sss

#42 Sebuah buku bersampul ungu. Anya membuka halaman pertama buku itu. #sss

#43 Sebuah kalimat tertulis rapi di tengah halaman pertama. #sss

#44 "085228008417 I will always be here for you.. To accompany you writing our story.. Again.. On this book.. Darrel" #sss

#45 Anya tertegun. Tangannya meraih telepon genggam yang berada di bawah bantal merah marunnya. #sss

#46 "Halo. Ini sapa ya?" Suara itu kembali terngiang di telinga Anya. Darrel. Siapa lagi?

#47 Anya masih terdiam. Seperti tak sanggup mengucapkan kata. #sss

#48 "Halo?" kembali suara Darrel terdengar. #sss

#49 "Em. Ini Anya," ucap Anya. Darrel tidak menyahut. Untuk beberapa menit mereka hening. #sss

#50 "Oh, hey Anya. Apa kabar?" nada suara Darrel menjadi datar. Pelan. #sss

#51 "Baik. Kamu?" "Baik. Habis main basket." "Oh masih suka main basket ya. Maaf ganggu." "Ga papa. Ini dah mau pulang kok." #sss

#52 Kembali mereka terdiam. Anya tak tahu harus berkata apa lagi. #sss

#53 "Eh, hari minggu ini ada waktu ga?" ucap Anya teringat akan rencananya kembali ke Jakarta. #sss

#54 "Oh. Ada." "Besok sore aku ke Jakarta." "Oh." "Kalau ada waktu kita ketemu." "Oh. Oke." "Thank you. Eh. Hati-hati pulangnya. Jangan ngebut." #sss

#55 "Oke. Ak di boncengin temen kok." "Naik motor?" "Iya. Motor dia baru." "Oh. Oke. Thank you, Darrel. Good night." "Night." #sss

#56 Terdengar suara riuh dan siulan kecil di seberang sebelum Anya mengakhiri panggilan. Kini dia kembali termenung. #sss

#57 Setelah menghela nafas panjang, Anya bergegas melanjutkan tugasnya malam ini. Dengan senyum kecil di bibirnya. #sss

#58 Minggu 07:00 Anya duduk di depan rumahnya. Bunga lavender kesukaan mamanya sudah tumbuh mekar di sekeliling kolam ikan. #sss

#59 Anya pun menelepon Darrel kembali. Semoga mereka bisa bertemu pagi ini. #sss

#60 "Halo." "Eh. Darrel. Ketemuannya pagi aja bisa?" "Maaf. Ini Mike, temen Darrel. Eh, ini Anya kan?" "Iya." "Anya ke rumah Darrel aja ya skrg." #sss

#61 Anya pun menyusuri Jakarta pagi itu. Sendirian dengan mobil mamanya. Tak lupa di bawanya buku bersampul ungu dari Darrel.. #sss

#62 Tidak biasanya Anya ke rumah Darrel sendirian, tanpa di jemput. Namun tidak apa, pikir Anya, dia yang mengajak bertemu. #sss

#63 "Darrel di mana?" tanya Anya ketika sampai di rumah Darrel dan bertemu dengan Mike saja. #sss

#64 "Eh. Ayo ku antar," ucap Mike yang terlihat gugup. Mike pun berjalan meninggalkan rumah Darrel. Anya mengikutinya. #sss

#65 Langit pagi itu gelap. Angin menderu. Sampai di ujung gang tiba-tiba Mike berbelok dan memasuki sebuah tempat lapang. Anya terhenyak. #sss

#66 "Mike? Darrel ngapain di sini? Mamanya sudah sembuh kan? Operasi jantungnya sukses kan? Mamanya ga kenapa-kenapa kan?" tanya Anya khawatir. #sss

#67 "Bukan mamanya," ucap Mike. Dia menghentikan langkahnya. #sss

#68 Anya termangu. Dan bersimpuh ke tanah. Angin bertiup semakin kencang. #sss

#69 "Darrel Pramaditya, 10 Juni 2012" tertulis di sebuah batu nisan di atas tanah merah pagi ini. #sss

#70 "Darrel.. Kecelakaan...," ucap Mike terbata. #sss

#71 Air mata Anya menitik di atas buku bersampul ungu yg digenggamannya. Seiring bunga-bunga ungu yang gugur tertiup angin. #sss

#72 The Purple Rain. The End. Thank you for reading. #sss
 

My Word is Simple Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting