Sunday, April 14, 2013

Tentang Nada

Posted by phero at 7:08 PM 3 comments





“Does he watch your favorite movies?
Does he hold you when you cry?
Does he let you tell him all your favorite parts when you've seen it a million times?
Does he sing to all your music while you dance to "Purple Rain? "
Does he do all these things, like I used to?”

Rabu, 10 April 2013

A Rocket to the Moon menemani Aldo melaju bersama Yaris hitam sore itu. Sendirian. Seperti hari Rabu yang lain, dia selalu menyempatkan diri pulang ke rumahnya di Bogor. Bertemu keluarganya. Bertemu teman-teman paduan suara di gereja. Menghabiskan waktu dengan pacarnya. Tidak. Tidak. Sejak hari Sabtu kemarin, dia tidak bisa lagi menyebutnya pacar. Mantan. Ya. Itu lebih tepat.

Aldo menengok kesamping kirinya. Sejenak. Biasanya Lona duduk disitu. Biasanya dia meminta memutarkan lagu-lagu yang disukainya berulang-ulang selama perjalanan ke Bogor. Taylor Swift. Carly Rae Japsen. Miley Cyrus. Sampai bosan.

Biasanya Lona tertawa kecil sambil bercerita tentang teman-teman Binus yang suka bercanda. Biasanya dia akan menceritakan adegan-adegan film yang disukainya. Yang pernah mereka tonton. Berdua. Dulu.

Biasanya Lona akan terdiam sejenak karena teringat tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk. Biasanya dia akan menanyakan tentang teman-teman cewe yang dekat dengan Aldo. Apa saja yang mereka lakukan bersama. Apakah ada yang cantik. Lalu Lona akan terdiam lagi. Dengan rasa cemburu dihatinya.

Aldo ingat semua itu. Dan dia akan memegang tangan Lona. Lalu mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Kalau hanya Lona yang mengisi hatinya.

Tapi semua itu kini hanya tinggal ingatan. Karena Lona memilih untuk melupakannya. Memilih untuk mengikuti kata hatinya. Katanya. Memilih untuk menghapus nama Aldo dihatinya. Memilih untuk mengakhiri rasa itu. Memilih untuk mengurangi beban cemburu dihatinya. Memilih untuk menyerah.

Jalanan Jakarta petang itu tak berubah. Padat. Seperti hari-hari biasanya. Aldo memandang kampus Trisakti di sebelah kirinya. Lima tahun telah dilaluinya di kampus itu hingga sekarang melanjutkan S2 nya. Lima tahun pula Lona mengisi hatinya. Ya. Lona. Adik kelasnya saat di SMA 2 Bogor. Mahasiswi tingkat akhir di Bina Nusantara. Seseorang yang selalu menemaninya dalam perjalanan pulang ke Bogor. Dulu.

Dan hari Sabtu kemarin adalah akhir dari cerita mereka. Lona mengatakan kalau dia sudah tidak sanggup melanjutkan hubungan mereka. Dia bilang kalau selama seminggu dia memikirkan semuanya. Dia tidak mau lagi Aldo bilang tidak punya waktu untuk bertemu dengannya karena tugas paper yang harus segera dikumpulkan. Dia tidak mau lagi mendengar kalau Aldo ternyata hanya menghabiskan waktu di kampus untuk main game dan lupa membalas WhatsApp darinya. Dia tidak mau lagi membaca status Aldo di Twitter maupun Facebook yang aneh-aneh yang ditulis oleh teman-teman Aldo yang usil. Dia tidak mau mendengar lagi kalau ternyata Aldo suka bercanda berlebihan dengan teman-teman cewenya. Dia tidak mau.

Apapun yang dikatakan Aldo ternyata tidak mampu mengubah keputusan Lona. Sepertinya Lona sudah membenci Aldo. Membenci semua hal tentang Aldo, yang pernah didengarnya. Walaupun Aldo sudah menjelaskan kalau semua yang didengar Lona tidak benar, Lona tak sekalipun mempercayainya. Hati itu sudah tertutup.

“BIM BIM BIM..!!”

Aldo tersentak. Suara klakson mobil di belakangnya membuyarkan lamunan. Aldo segera melaju melanjutkan perjalanannya ke arah selatan. Gemerlap lampu kota pada petang itu sedikit menghibur hatinya. Melupakan Lona sejenak.

***

 “Aldo. Mama sudah dengar kalau kamu putus. Tadi Alvin kasih tahu mama,” ucap mama Aldo menyambut kedatangan puteranya sambil membukakan pintu.

“Iya Ma, tadi aku bilang sama Dek Alvin. Udah gapapa Ma,” jawab Aldo mencoba tersenyum walaupun dia belum bisa bersahabat dengan perasaan hatinya.

“Putus cinta gak apa yang penting kamu jangan sampai putus asa ya, Do,” lanjut mamanya sambil menepuk lengan Aldo.

“Pasti Ma. Jangan khawatir,” kembali Aldo tersenyum.

“Baguslah kalau begitu. Oh ya, Alvin sudah berangkat duluan buat latihan paduan suara. Katanya dia mau nyiapin fotocopy teks lagu. Kamu berangkat atau tidak, Do?” tanya mamanya perhatian.

“Berangkat Ma. Yaudah ntar aku nyusul. Aku mau mandi dulu Ma,” ucap Aldo sambil berjalan menuju ke kamarnya.

Warna biru mendominasi kamar itu. Aldo menatap sebuah pigura kecil diatas mejanya. Terlihat fotonya bersama Lona saat mereka merayakan hari jadian mereka yang keempat. Aldo menhela nafas. Wajahnya kembali murung.

***

Setelah selesai mandi dan bersiap, Aldo bergegas menuju ke gereja untuk mengikuti latihan paduan suara bersama teman-temannya. Malam ini adalah gladi resik untuk lomba paduan suara antar gereja hari Sabtu ini. Mau tak mau Aldo harus ikut. Walaupun sebenarnya sangat berat untuk berkonsentrasi penuh pada saat seperti ini. Belum lagi Lona juga ikut dalam paduan suara gerejanya.

“Tenor andalan kita sudah datang weh!” seru Simon saat melihat Aldo masuk ke gereja. Simon adalah teman dekat Aldo sekaligus pemain keyboard di kelompok mereka.

“Ha ha, bisa aja,” sahut Aldo tersipu.

Teman-teman yang lain sudah berbaris di depan altar sesuai jenis suara masing-masing. Sopran, Meso Sopran, dan Alto di barisan depan. Tenor, Bass, dan Bariton di barisan belakang. Aldo segera menempatkan dirinya bersama para tenor yang lain. Sekilas dia melihat Lona berdiri di barisan Sopran. Tidak. Aldo tidak mau terlihat hancur. Dia menghela nafas panjang. Seiring suara keyboard yang mengalun dan gerakan tangan dirijen.

Dua jam berlalu ketika lagu terakhir selesai dinyanyikan setelah kesekian kalinya. Mereka pun duduk melingkar di depan altar untuk beristirahat. Minum. Dan makan potongan buah-buahan yang disiapkan oleh sie konsumsi.

“Temen-temen semua, sambil ngemil sehat, kita briefing bentar buat besok Sabtu ya,” seru Zita, dirijen sekaligus ketua kelompok paduan suara.

“Jadi, kita berangkat dari Bogor hari Jumat naik kereta. Temen-temen diharapkan kumpul jam 5 sore disini. Tepat waktu ya, prend. Kira-kira kita sampai di Jogja hari Sabtu pagi jam limaan, biar ada waktu buat istirahat. Ntar dari stasiun tugu kita langsung cus ke hotel di deket gereja Kota Baru. Ga ada 5 menit soalnya stasiun ama gerejanya deket banget,” lanjut Zita.

“Itu lombanya jam berapa ya? Malemnya kita langsung pulang ke Bogor atau balik ke hotel?” tanya Aldo.

“Oh iya Do, sorry belum kasih update terbaru. Jadi lombanya tuh mulai jam 6 sore. Di daftarnya sih ada 15 peserta. Trus kemungkinan selesainya bakalan malem, plus pengumuman pemenang. Jadi kita balik ke hotel lagi en pulang Bogor paginya jam setengah enam,” jawab Zita.

“Oh siap!” seru Aldo.

“Gitu aja ya temen-temen. Kalo ga ada pertanyaan lagi, ayo kita tutup gladi resik kita, trus istirahat biar seger pas lomba,” ucap Zita.

Setelah briefing ditutup dengan doa dan setelah membereskan peralatan, mereka bersiap pulang. Tak ada satu katapun terucap oleh Aldo untuk menyapa Lona. Lona pun demikian. Terdiam dan tak mau menyapa. Aldo mecoba mendekat saat mereka sama-sama berjalan ke tempat parkir mobil. Namun sebelum Aldo sempat mengucapkan kata, seseorang telah memanggil Lona.

“Lona, sebelah sini,” panggil seseorang di belakang Lona. Seseorang yang tak asing buat Aldo. Seseorang yang keluar dari kelompok paduan suara karena memilih membuat vocal group komersil yang lebih menjanjikan. Seseorang yang tidak setuju kalau kelompok paduan suara gereja hanyalah untuk kebutuhan gereja. Seseorang yang pernah membuatnya cemburu karena Lona selalu curhat dengannya.

“Hei, Chris. Wah aku gak lihat tadi. Maafin ya,” Lona berbalik dan berjalan ke arah Chris.

Aldo hanya bisa melihat mereka dari bawah bayang-bayang pohon cemara. Hatinya seakan tertusuk. Badannya tiba-tiba terasa lemas. Ternyata rasa hatinya benar-benar tak bisa diperjuangkan lagi. Terlihat Chris membukakan Alphard putihnya dan membantu Lona masuk.

***

Sabtu, 13 April 2013

“Aldo... Aldo…,” panggil Zita ditengah keramaian peserta dan penonton lomba paduan suara di samping gereja Kota Baru. Aldo yang terlihat sedang melamun, menoleh tersipu.

“Duh kamu ngelamun aja Do. Gini, aku mau nyariin tempat duduk buat temen-temen, kamu yang daftar ulang ya. Please. Ini kartu daftar ulangnya. Ntar jangan lupa minta nomor undian. Sip ya Do?” tanya Zita sambil memberikan sebuah kartu berwarna biru.

“Siap bos!” Aldo pun segera melangkahkan kakinya ke sebuah gazebo di samping gereja, tepat pendaftaran ulang para peserta lomba. Tiga orang cewe berseragam tosca menyambutnya.

“Eh, daftar ulang disini kan ya?” tanya Aldo kepada salah satu cewe itu.

“Mas Aldo Putra?” seru cewe itu terkejut. Begitupun juga Aldo, yang merasa belum pernah mengenal cewe itu.

“Loh, kok tahu? Eh, maaf, maksud saya, sepertinya saya belum pernah ketemu,” ucap Aldo takjub.

“Iya mas, memang belum pernah ketemu. Tapi mas nya kan terkenal. Saya sudah lihat-lihat blog Maria Serafin loh,” ucap cewe itu berbinar.

“Oh, iya. Itu blog paduan suara. Sudah lihat video-videonya?” tanya Aldo ramah.

“Sudah dong mas. Keren! He he,” sahut cewe itu.

“He he, terimakasih. Oh iya, daftar ulangnya bagaimana ya?” lanjut Aldo.

“Oh iya, maaf mas, malah jadi ngobrol kemana-mana,” jawab cewe itu yang terlihat gugup.

Aldo pun menyerahkan kartu yang diberikan Zita tadi kepada cewe itu. Kemudian dia mengisi sebuah formulir kecil. Setelah menerima undian yang ternyata nomor 10, dia pun berjalan ke dalam gereja mencari teman-teman yang lain.

“Terimakasih dah daftar ulang, mas Aldo,” seru cewe itu.

“Eh iya,” sahut Aldo.

***

Satu jam Aldo dan teman-temannya menunggu giliran. Beberapa kelompok paduan suara yang ikut dalam lomba itu memang luar biasa. Seperti peserta nomor undian 8, Sanctifico Kantabile, yang terdengar melantunkan Bermazmurlah Bagi Tuhan. Syahdu. Hampir membuat Aldo kembali tenggelam dalam lamunan, sesaat sebelum seseorang memanggil namanya.


“Mas Aldo?” cewe yang tadi di gazebo daftar ulang tersenyum di dekat Aldo.


“Oh, iya?” jawab Aldo sedikit gugup.

“Mas, Maria Serafine nomor undian sepuluh kan ya? Sekarang ditunggu panitia untuk bersiap di backstage mas,” ucap cewe itu.

“Oh, okai. Thank you,” sahut Aldo kepada cewe itu.

“Temen-temen, kita dah bisa siap-siap di backstage. Ga ada yang ketinggalan kan ya?” seru Aldo kepada teman-temannya.

“Ciyee Aldo dapet gebetan baru. Inget masih ada Lona, Do,” ledek Simon. Simon belum tahu kalau Aldo dan Lona sudah putus. Begitupun teman-teman yang lain. Pastinya.

Aldo dan dua belas teman yang sama-sama memakai baju nuansa putih biru itu berjalan mengikuti cewe yang tadi menjemput mereka. Biasanya Aldo akan berjalan disamping Lona. Dan menggandeng tangan Lona. Untuk mengurangi rasa gugup mereka. Biasanya Lona akan menggenggam tangannya lebih erat, lalu berseru, “Sukses! Sukses!”

Biasanya.

Sekarang Aldo berjalan di belakang teman-temannya. Berusaha menenangkan diri dan menutupi kegelisahannya. Berusaha bersahabat dengan detak jantungnya yang semakin cepat.

***

“Mari kita sambut peserta yang kesepuluh yang sudah datang jauh-jauh dari Bogor, Maria Serafine..!” seru pembawa acara malam itu.

Riuh tepuk tangan penonton mengiring langkah Aldo dan teman-temannya diatas panggung, di depan altar. Tepat sesaat setelah suara penonton terhenti, lantunan nada dari keyboard Simon mengisi ruangan di dalam gereja Kota Baru itu. Bermazmurlah Bagi Tuhan kembali dinyanyikan.

Tanpa Kasih menjadi lagu kedua yang mereka nyanyikan. Malam ini lagu itu terasa sangat berbeda oleh Aldo. Aldo merasa lagu itu seperti dicipta untuk dia. Aldo merasa seperti melayang. Tinggi.

Riuh tepuk tangan penonton kembali terdengar saat lagu kedua selesai dinyanyikan. Aldo dan teman-temannya membungkukkan badan dan meninggalkan panggung. Rasa lega dan senyum lebar menghiasi bibir Aldo dan teman-temannya.

“Kalian keren teman-teman!!” seru Zita. Mereka pun saling bersalaman dan berpelukan. Setelah dua bulan berlatih, akhirnya mereka telah menyelesaikannya.

“Mari saya antar ke ruang makan,” cewe yang tadi menjemput mereka sudah menyambut di pintu backstage. Mengantar mereka ke sebuah ruang yang cukup lebar di belakang gereja.

***

Minggu, 14 April 2013

Kereta pagi menderu dibawah hujan. 


Bersambung dalam hitungan jam.. Lagiiiiiiiiiiiiiiiiii...........:D 

Friday, April 5, 2013

Little White December

Posted by phero at 2:27 AM 0 comments




(Part 1): Malam Natal.. Sepi.. Bukan.. Bukan suasana malam ini yang terasa sepi.. Tapi hatiku..

(Part 2): Jam 19:20.. Dua puluh menit yang lalu perayaan Natal tahun ini semestinya sudah dimulai, di rumahnya.. Ya.. Dia.. Di rumahnya..

(Part 3): Sudah dimulai.. Tapi aku masih disini.. Sepi.. Sendiri.. Didalam kamar.. Entah mengapa aku merasa enggan merayakan.. Maafkan aku..

(Part 4): Aku terduduk di kursi belajarku.. Memandang bungkusan kecil di atas meja.. Kado Natal.. Kecil.. #supershortstory

(Part 5): Seharusnya kado ini untuk dia.. Ya.. Dia yg disana.. Tapi ku tak sanggup.. Tak sanggup memberikannya malam ini.. #supershortstory

(Part 6): Dia terlalu indah untukku.. Ketua kelas.. Kapten tim basket.. Pemenang 'speech contest'.. Terkenal.. Dikenal.. #supershortstory

(Part 7): Ya.. Dikenal oleh mereka.. Teman-temanku.. Teman-teman perempuan.. Yang selalu tergila-gila.. Karena wajahnya.. #supershortstory

(Part 8): Sedangkan aku? Aku? Mungkin tak akan pernah terlintas olehnya.. Dia.. Untuk melihatku.. Bahkan menyapa.. Ku.. #supershortstory

(Part 9): Aku hanyalah pecinta buku.. Yang akan selalu duduk di ujung belakang.. Ruang 224.. Kelasku.. #supershortstory

(Part 10): Untuk membaca.. Untuk menutup wajahku dengan hitamnya rambutku.. Untuk menarik diriku dari keramaian.. #supershortstory

(Part 11): Ya.. Aku.. Dia.. Sungguh berbeda.. Tapi.. Tapi rasa itu sungguh menyesakkan.. Sekali lagi ku tak sanggup.. #supershortstory

(Part 12): Aku tersentak.. Jam dinding tua dibelakangku berdentang membuyarkan lamunan.. 20:00. Aku harus lakukan sesuatu.. #supershortstory

(Part 13): Aku harus berani.. Harus.. Kuambil bungkusan kecil itu.. Perayaan Natal pasti belum selesai.. Aku harus kesana.. #supershortstory

(Part 14): Ternyata diluar hujan deras.. Ya.. Deras.. Dan gelap.. Pekat.. Tidak.. Aku tidak akan urungkan niat.. #supershortstory

(Part 15): Kumelaju dengan mobil orangtuaku.. Sendiri.. Menembus gelapnya malam ini.. Menghempas air yg terlempar ke bumi.. #supershortstory

(Part 16): Aku meraba saku bajuku.. Masih disana.. Bungkusan kecil itu.. Untuknya.. Dia.. #supershortstory

(Part 17): Aku memang tak yakin dia akan menerimanya.. Tapi aku tak tahu sampai kapan lagi aku harus menunggu.. #supershortstory

(Part 18): Terbayang wajahnya yang rupawan. Terbayang dia dengan yang lain. Terbayang dia menolakku. Berpaling muka dariku. #supershortstory

(Part 19): Terbayang. Terbayang. Tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Buram.. Titik-titik air yang tersorot cahaya memendar.. #supershortstory

(Part 20): Haruskah kuberhenti? Tidak.. Aku tak boleh lengah.. Kutepuk-tepuk pelipisku agar penglihatanku kembali.. #supershortstory

(Part 21): Mataku pun terbuka.. Kembali melihat cahaya dikejauhan.. Namun cahaya itu terlalu menyilaukan.. #supershortstory

(Part 22): Aku membanting stir kekiri.. Ya.. Cahaya itu terlalu menyilaukan.. Tersentak.. Terhenyak.. #supershortstory

(Part 23): Mataku terpejam tuk beberapa waktu. Saat akhirnya kubuka mataku, terlihat samar sebuah mobil berhenti diseberang #supershortstory

(Part 24): Jalanan sepi.. Tak terlihat ada kendaraan lain yang melaju dibawah derasnya hujan malam ini.. Aku terpaku.. #supershortstory

(Part 25): Mobil diseberang masih tak bergerak. Namun suara mesinnya masih terdengar. Beberapa orang terlihat menghampiri.. #supershortstory

(Part 26): Ada apa? Kulangkahkan kakiku mendekat.. Seorang laki-laki terlihat sibuk dengan telepon genggamnya.. #supershortstory

(Part 27): "Ada apa, Pak?" tanyaku.. Laki-laki itu tak menghiraukanku.. Kuberjalan semakin mendekat.. #supershortstory

(Part 28): Aku menghentikan langkahku tepat didepan mobil itu. Dua orang lelaki terlihat menggotong seseorang.. Perempuan.. #supershortstory

(Part 29): Wajahnya berlumur darah.. Perempuan itu.. #supershortstory

(Part 30): "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku sekali lagi.. Namun, sekali lagi, tak ada yang menjawab pertanyaanku.. #supershortstory

(Part 31): Aku pun memilih untuk melanjutkan perjalananku.. Dengan mataku yang terkadang masih berkunang-kunang.. #supershortstory

(Part 31): Beberapa saat kemudian sebuah mobil ambulans datang.. Mungkin mereka memang tidak memerlukan bantuanku.. #supershortstory

(Part 33): Akhirnya aku pun sampai dirumahnya.. Dia.. Hujan masih mengguyur bumi.. Sepertinya acara belum usai.. #supershortstory

(Part 34): Kuberanikan diri melangkahkan kakiku.. Masuk.. Ruangan itu terang sekali.. Memaksaku memicingkan mata.. #supershortstory

(Part 35): Sangat mudah mencarinya dikeramaian seperti ini. Seperti biasa. Dia sedang berbincang, bercanda, dengan mereka.. #supershortstory

(Part 36): Mereka.. Yang menggilainya.. Dia.. Dan akupun hanya berdiri memandangnya dari kejauhan.. Di sudut ruang itu.. #supershortstory

(Part 37): Dia.. Tom.. Yang telah membuatku memberanikan diri sampai disini.. Inilah saatnya.. Saat yang selalu kunanti.. #supershortstory

(Part 38): Beberapa tamu undangan pun berpamitan.. Aku pun semakin berdebar.. Kuberjalan pelan mendekatinya.. #supershortstory

(Part 39): "Tom," panggilku,saat dia sedang mengambil minuman.Dia membalikkan badan.Namun sepertinya dia tak mau menatapku. #supershortstory

(Part 40): "Aku cuma mau ngasi...," belum selesai kumengucapkannya, seseorang memanggil namanya keras-keras. "Tom.. Tom.." #supershortstory

(Part 41): "Mike?" orang itu adalah Mike, teman kecilku, teman dekatnya.. Dia.. "Tom.. Lu harus denger.. Sarah.. Sarah.." #supershortstory

(Part 42): Muka Mike terlihat pucat. Dia menyebut nama Sarah. Sarah? Namaku? Dengan terbata Mike berucap,"Sarah meninggal." #supershortstory

(Part 43): Meninggal? Aku? "Sarah kecelakaan.. Tadi.. Mobilnya ...," Mike tak sanggup lagi melanjutkan.. Tom terpaku.. #supershortstory

(Part 44): "Tom, dengarkan aku.. Dia salah.. Aku, Sarah.. Masih disini..," aku berusaha menenangkannya.. Tapi sia-sia.. #supershortstory

(Part 45): "Tom, ini.. Kutemukan disakunya.." Mike menyodorkan sebuah bungkusan kecil.. Bungkusan itu? #supershortstory

(Part 46): Tom membuka bungkusan kecil itu.. Sebatang cokelat.. Ya.. Sebatang cokelat, dengan sebuah kartu kecil.. #supershortstory

(Part 47): Tom memegang kartu itu.. Kedua matanya berkaca-kaca.. "Tom.. I love you.. Sarah.." #supershortstory

(Part 48): Tom membaca tulisan di kartu itu.. Pelan.. Dipejamkan matanya.. Ya.. Kartu itu.. Ya.. Tulisan itu. Dariku. Aku.. #supershortstory

(Part 49): Jadi.. Perempuan berlumur darah itu aku? Aku? Tidak.. Tidaaak.. Kurasakan tubuhku melayang.. Tinggi.. #supershortstory

(Part 50): Tinggi.. Melayang.. (The End) #supershortstory

Sunday, April 14, 2013

Tentang Nada






“Does he watch your favorite movies?
Does he hold you when you cry?
Does he let you tell him all your favorite parts when you've seen it a million times?
Does he sing to all your music while you dance to "Purple Rain? "
Does he do all these things, like I used to?”

Rabu, 10 April 2013

A Rocket to the Moon menemani Aldo melaju bersama Yaris hitam sore itu. Sendirian. Seperti hari Rabu yang lain, dia selalu menyempatkan diri pulang ke rumahnya di Bogor. Bertemu keluarganya. Bertemu teman-teman paduan suara di gereja. Menghabiskan waktu dengan pacarnya. Tidak. Tidak. Sejak hari Sabtu kemarin, dia tidak bisa lagi menyebutnya pacar. Mantan. Ya. Itu lebih tepat.

Aldo menengok kesamping kirinya. Sejenak. Biasanya Lona duduk disitu. Biasanya dia meminta memutarkan lagu-lagu yang disukainya berulang-ulang selama perjalanan ke Bogor. Taylor Swift. Carly Rae Japsen. Miley Cyrus. Sampai bosan.

Biasanya Lona tertawa kecil sambil bercerita tentang teman-teman Binus yang suka bercanda. Biasanya dia akan menceritakan adegan-adegan film yang disukainya. Yang pernah mereka tonton. Berdua. Dulu.

Biasanya Lona akan terdiam sejenak karena teringat tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk. Biasanya dia akan menanyakan tentang teman-teman cewe yang dekat dengan Aldo. Apa saja yang mereka lakukan bersama. Apakah ada yang cantik. Lalu Lona akan terdiam lagi. Dengan rasa cemburu dihatinya.

Aldo ingat semua itu. Dan dia akan memegang tangan Lona. Lalu mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Kalau hanya Lona yang mengisi hatinya.

Tapi semua itu kini hanya tinggal ingatan. Karena Lona memilih untuk melupakannya. Memilih untuk mengikuti kata hatinya. Katanya. Memilih untuk menghapus nama Aldo dihatinya. Memilih untuk mengakhiri rasa itu. Memilih untuk mengurangi beban cemburu dihatinya. Memilih untuk menyerah.

Jalanan Jakarta petang itu tak berubah. Padat. Seperti hari-hari biasanya. Aldo memandang kampus Trisakti di sebelah kirinya. Lima tahun telah dilaluinya di kampus itu hingga sekarang melanjutkan S2 nya. Lima tahun pula Lona mengisi hatinya. Ya. Lona. Adik kelasnya saat di SMA 2 Bogor. Mahasiswi tingkat akhir di Bina Nusantara. Seseorang yang selalu menemaninya dalam perjalanan pulang ke Bogor. Dulu.

Dan hari Sabtu kemarin adalah akhir dari cerita mereka. Lona mengatakan kalau dia sudah tidak sanggup melanjutkan hubungan mereka. Dia bilang kalau selama seminggu dia memikirkan semuanya. Dia tidak mau lagi Aldo bilang tidak punya waktu untuk bertemu dengannya karena tugas paper yang harus segera dikumpulkan. Dia tidak mau lagi mendengar kalau Aldo ternyata hanya menghabiskan waktu di kampus untuk main game dan lupa membalas WhatsApp darinya. Dia tidak mau lagi membaca status Aldo di Twitter maupun Facebook yang aneh-aneh yang ditulis oleh teman-teman Aldo yang usil. Dia tidak mau mendengar lagi kalau ternyata Aldo suka bercanda berlebihan dengan teman-teman cewenya. Dia tidak mau.

Apapun yang dikatakan Aldo ternyata tidak mampu mengubah keputusan Lona. Sepertinya Lona sudah membenci Aldo. Membenci semua hal tentang Aldo, yang pernah didengarnya. Walaupun Aldo sudah menjelaskan kalau semua yang didengar Lona tidak benar, Lona tak sekalipun mempercayainya. Hati itu sudah tertutup.

“BIM BIM BIM..!!”

Aldo tersentak. Suara klakson mobil di belakangnya membuyarkan lamunan. Aldo segera melaju melanjutkan perjalanannya ke arah selatan. Gemerlap lampu kota pada petang itu sedikit menghibur hatinya. Melupakan Lona sejenak.

***

 “Aldo. Mama sudah dengar kalau kamu putus. Tadi Alvin kasih tahu mama,” ucap mama Aldo menyambut kedatangan puteranya sambil membukakan pintu.

“Iya Ma, tadi aku bilang sama Dek Alvin. Udah gapapa Ma,” jawab Aldo mencoba tersenyum walaupun dia belum bisa bersahabat dengan perasaan hatinya.

“Putus cinta gak apa yang penting kamu jangan sampai putus asa ya, Do,” lanjut mamanya sambil menepuk lengan Aldo.

“Pasti Ma. Jangan khawatir,” kembali Aldo tersenyum.

“Baguslah kalau begitu. Oh ya, Alvin sudah berangkat duluan buat latihan paduan suara. Katanya dia mau nyiapin fotocopy teks lagu. Kamu berangkat atau tidak, Do?” tanya mamanya perhatian.

“Berangkat Ma. Yaudah ntar aku nyusul. Aku mau mandi dulu Ma,” ucap Aldo sambil berjalan menuju ke kamarnya.

Warna biru mendominasi kamar itu. Aldo menatap sebuah pigura kecil diatas mejanya. Terlihat fotonya bersama Lona saat mereka merayakan hari jadian mereka yang keempat. Aldo menhela nafas. Wajahnya kembali murung.

***

Setelah selesai mandi dan bersiap, Aldo bergegas menuju ke gereja untuk mengikuti latihan paduan suara bersama teman-temannya. Malam ini adalah gladi resik untuk lomba paduan suara antar gereja hari Sabtu ini. Mau tak mau Aldo harus ikut. Walaupun sebenarnya sangat berat untuk berkonsentrasi penuh pada saat seperti ini. Belum lagi Lona juga ikut dalam paduan suara gerejanya.

“Tenor andalan kita sudah datang weh!” seru Simon saat melihat Aldo masuk ke gereja. Simon adalah teman dekat Aldo sekaligus pemain keyboard di kelompok mereka.

“Ha ha, bisa aja,” sahut Aldo tersipu.

Teman-teman yang lain sudah berbaris di depan altar sesuai jenis suara masing-masing. Sopran, Meso Sopran, dan Alto di barisan depan. Tenor, Bass, dan Bariton di barisan belakang. Aldo segera menempatkan dirinya bersama para tenor yang lain. Sekilas dia melihat Lona berdiri di barisan Sopran. Tidak. Aldo tidak mau terlihat hancur. Dia menghela nafas panjang. Seiring suara keyboard yang mengalun dan gerakan tangan dirijen.

Dua jam berlalu ketika lagu terakhir selesai dinyanyikan setelah kesekian kalinya. Mereka pun duduk melingkar di depan altar untuk beristirahat. Minum. Dan makan potongan buah-buahan yang disiapkan oleh sie konsumsi.

“Temen-temen semua, sambil ngemil sehat, kita briefing bentar buat besok Sabtu ya,” seru Zita, dirijen sekaligus ketua kelompok paduan suara.

“Jadi, kita berangkat dari Bogor hari Jumat naik kereta. Temen-temen diharapkan kumpul jam 5 sore disini. Tepat waktu ya, prend. Kira-kira kita sampai di Jogja hari Sabtu pagi jam limaan, biar ada waktu buat istirahat. Ntar dari stasiun tugu kita langsung cus ke hotel di deket gereja Kota Baru. Ga ada 5 menit soalnya stasiun ama gerejanya deket banget,” lanjut Zita.

“Itu lombanya jam berapa ya? Malemnya kita langsung pulang ke Bogor atau balik ke hotel?” tanya Aldo.

“Oh iya Do, sorry belum kasih update terbaru. Jadi lombanya tuh mulai jam 6 sore. Di daftarnya sih ada 15 peserta. Trus kemungkinan selesainya bakalan malem, plus pengumuman pemenang. Jadi kita balik ke hotel lagi en pulang Bogor paginya jam setengah enam,” jawab Zita.

“Oh siap!” seru Aldo.

“Gitu aja ya temen-temen. Kalo ga ada pertanyaan lagi, ayo kita tutup gladi resik kita, trus istirahat biar seger pas lomba,” ucap Zita.

Setelah briefing ditutup dengan doa dan setelah membereskan peralatan, mereka bersiap pulang. Tak ada satu katapun terucap oleh Aldo untuk menyapa Lona. Lona pun demikian. Terdiam dan tak mau menyapa. Aldo mecoba mendekat saat mereka sama-sama berjalan ke tempat parkir mobil. Namun sebelum Aldo sempat mengucapkan kata, seseorang telah memanggil Lona.

“Lona, sebelah sini,” panggil seseorang di belakang Lona. Seseorang yang tak asing buat Aldo. Seseorang yang keluar dari kelompok paduan suara karena memilih membuat vocal group komersil yang lebih menjanjikan. Seseorang yang tidak setuju kalau kelompok paduan suara gereja hanyalah untuk kebutuhan gereja. Seseorang yang pernah membuatnya cemburu karena Lona selalu curhat dengannya.

“Hei, Chris. Wah aku gak lihat tadi. Maafin ya,” Lona berbalik dan berjalan ke arah Chris.

Aldo hanya bisa melihat mereka dari bawah bayang-bayang pohon cemara. Hatinya seakan tertusuk. Badannya tiba-tiba terasa lemas. Ternyata rasa hatinya benar-benar tak bisa diperjuangkan lagi. Terlihat Chris membukakan Alphard putihnya dan membantu Lona masuk.

***

Sabtu, 13 April 2013

“Aldo... Aldo…,” panggil Zita ditengah keramaian peserta dan penonton lomba paduan suara di samping gereja Kota Baru. Aldo yang terlihat sedang melamun, menoleh tersipu.

“Duh kamu ngelamun aja Do. Gini, aku mau nyariin tempat duduk buat temen-temen, kamu yang daftar ulang ya. Please. Ini kartu daftar ulangnya. Ntar jangan lupa minta nomor undian. Sip ya Do?” tanya Zita sambil memberikan sebuah kartu berwarna biru.

“Siap bos!” Aldo pun segera melangkahkan kakinya ke sebuah gazebo di samping gereja, tepat pendaftaran ulang para peserta lomba. Tiga orang cewe berseragam tosca menyambutnya.

“Eh, daftar ulang disini kan ya?” tanya Aldo kepada salah satu cewe itu.

“Mas Aldo Putra?” seru cewe itu terkejut. Begitupun juga Aldo, yang merasa belum pernah mengenal cewe itu.

“Loh, kok tahu? Eh, maaf, maksud saya, sepertinya saya belum pernah ketemu,” ucap Aldo takjub.

“Iya mas, memang belum pernah ketemu. Tapi mas nya kan terkenal. Saya sudah lihat-lihat blog Maria Serafin loh,” ucap cewe itu berbinar.

“Oh, iya. Itu blog paduan suara. Sudah lihat video-videonya?” tanya Aldo ramah.

“Sudah dong mas. Keren! He he,” sahut cewe itu.

“He he, terimakasih. Oh iya, daftar ulangnya bagaimana ya?” lanjut Aldo.

“Oh iya, maaf mas, malah jadi ngobrol kemana-mana,” jawab cewe itu yang terlihat gugup.

Aldo pun menyerahkan kartu yang diberikan Zita tadi kepada cewe itu. Kemudian dia mengisi sebuah formulir kecil. Setelah menerima undian yang ternyata nomor 10, dia pun berjalan ke dalam gereja mencari teman-teman yang lain.

“Terimakasih dah daftar ulang, mas Aldo,” seru cewe itu.

“Eh iya,” sahut Aldo.

***

Satu jam Aldo dan teman-temannya menunggu giliran. Beberapa kelompok paduan suara yang ikut dalam lomba itu memang luar biasa. Seperti peserta nomor undian 8, Sanctifico Kantabile, yang terdengar melantunkan Bermazmurlah Bagi Tuhan. Syahdu. Hampir membuat Aldo kembali tenggelam dalam lamunan, sesaat sebelum seseorang memanggil namanya.


“Mas Aldo?” cewe yang tadi di gazebo daftar ulang tersenyum di dekat Aldo.


“Oh, iya?” jawab Aldo sedikit gugup.

“Mas, Maria Serafine nomor undian sepuluh kan ya? Sekarang ditunggu panitia untuk bersiap di backstage mas,” ucap cewe itu.

“Oh, okai. Thank you,” sahut Aldo kepada cewe itu.

“Temen-temen, kita dah bisa siap-siap di backstage. Ga ada yang ketinggalan kan ya?” seru Aldo kepada teman-temannya.

“Ciyee Aldo dapet gebetan baru. Inget masih ada Lona, Do,” ledek Simon. Simon belum tahu kalau Aldo dan Lona sudah putus. Begitupun teman-teman yang lain. Pastinya.

Aldo dan dua belas teman yang sama-sama memakai baju nuansa putih biru itu berjalan mengikuti cewe yang tadi menjemput mereka. Biasanya Aldo akan berjalan disamping Lona. Dan menggandeng tangan Lona. Untuk mengurangi rasa gugup mereka. Biasanya Lona akan menggenggam tangannya lebih erat, lalu berseru, “Sukses! Sukses!”

Biasanya.

Sekarang Aldo berjalan di belakang teman-temannya. Berusaha menenangkan diri dan menutupi kegelisahannya. Berusaha bersahabat dengan detak jantungnya yang semakin cepat.

***

“Mari kita sambut peserta yang kesepuluh yang sudah datang jauh-jauh dari Bogor, Maria Serafine..!” seru pembawa acara malam itu.

Riuh tepuk tangan penonton mengiring langkah Aldo dan teman-temannya diatas panggung, di depan altar. Tepat sesaat setelah suara penonton terhenti, lantunan nada dari keyboard Simon mengisi ruangan di dalam gereja Kota Baru itu. Bermazmurlah Bagi Tuhan kembali dinyanyikan.

Tanpa Kasih menjadi lagu kedua yang mereka nyanyikan. Malam ini lagu itu terasa sangat berbeda oleh Aldo. Aldo merasa lagu itu seperti dicipta untuk dia. Aldo merasa seperti melayang. Tinggi.

Riuh tepuk tangan penonton kembali terdengar saat lagu kedua selesai dinyanyikan. Aldo dan teman-temannya membungkukkan badan dan meninggalkan panggung. Rasa lega dan senyum lebar menghiasi bibir Aldo dan teman-temannya.

“Kalian keren teman-teman!!” seru Zita. Mereka pun saling bersalaman dan berpelukan. Setelah dua bulan berlatih, akhirnya mereka telah menyelesaikannya.

“Mari saya antar ke ruang makan,” cewe yang tadi menjemput mereka sudah menyambut di pintu backstage. Mengantar mereka ke sebuah ruang yang cukup lebar di belakang gereja.

***

Minggu, 14 April 2013

Kereta pagi menderu dibawah hujan. 


Bersambung dalam hitungan jam.. Lagiiiiiiiiiiiiiiiiii...........:D 

Friday, April 5, 2013

Little White December





(Part 1): Malam Natal.. Sepi.. Bukan.. Bukan suasana malam ini yang terasa sepi.. Tapi hatiku..

(Part 2): Jam 19:20.. Dua puluh menit yang lalu perayaan Natal tahun ini semestinya sudah dimulai, di rumahnya.. Ya.. Dia.. Di rumahnya..

(Part 3): Sudah dimulai.. Tapi aku masih disini.. Sepi.. Sendiri.. Didalam kamar.. Entah mengapa aku merasa enggan merayakan.. Maafkan aku..

(Part 4): Aku terduduk di kursi belajarku.. Memandang bungkusan kecil di atas meja.. Kado Natal.. Kecil.. #supershortstory

(Part 5): Seharusnya kado ini untuk dia.. Ya.. Dia yg disana.. Tapi ku tak sanggup.. Tak sanggup memberikannya malam ini.. #supershortstory

(Part 6): Dia terlalu indah untukku.. Ketua kelas.. Kapten tim basket.. Pemenang 'speech contest'.. Terkenal.. Dikenal.. #supershortstory

(Part 7): Ya.. Dikenal oleh mereka.. Teman-temanku.. Teman-teman perempuan.. Yang selalu tergila-gila.. Karena wajahnya.. #supershortstory

(Part 8): Sedangkan aku? Aku? Mungkin tak akan pernah terlintas olehnya.. Dia.. Untuk melihatku.. Bahkan menyapa.. Ku.. #supershortstory

(Part 9): Aku hanyalah pecinta buku.. Yang akan selalu duduk di ujung belakang.. Ruang 224.. Kelasku.. #supershortstory

(Part 10): Untuk membaca.. Untuk menutup wajahku dengan hitamnya rambutku.. Untuk menarik diriku dari keramaian.. #supershortstory

(Part 11): Ya.. Aku.. Dia.. Sungguh berbeda.. Tapi.. Tapi rasa itu sungguh menyesakkan.. Sekali lagi ku tak sanggup.. #supershortstory

(Part 12): Aku tersentak.. Jam dinding tua dibelakangku berdentang membuyarkan lamunan.. 20:00. Aku harus lakukan sesuatu.. #supershortstory

(Part 13): Aku harus berani.. Harus.. Kuambil bungkusan kecil itu.. Perayaan Natal pasti belum selesai.. Aku harus kesana.. #supershortstory

(Part 14): Ternyata diluar hujan deras.. Ya.. Deras.. Dan gelap.. Pekat.. Tidak.. Aku tidak akan urungkan niat.. #supershortstory

(Part 15): Kumelaju dengan mobil orangtuaku.. Sendiri.. Menembus gelapnya malam ini.. Menghempas air yg terlempar ke bumi.. #supershortstory

(Part 16): Aku meraba saku bajuku.. Masih disana.. Bungkusan kecil itu.. Untuknya.. Dia.. #supershortstory

(Part 17): Aku memang tak yakin dia akan menerimanya.. Tapi aku tak tahu sampai kapan lagi aku harus menunggu.. #supershortstory

(Part 18): Terbayang wajahnya yang rupawan. Terbayang dia dengan yang lain. Terbayang dia menolakku. Berpaling muka dariku. #supershortstory

(Part 19): Terbayang. Terbayang. Tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Buram.. Titik-titik air yang tersorot cahaya memendar.. #supershortstory

(Part 20): Haruskah kuberhenti? Tidak.. Aku tak boleh lengah.. Kutepuk-tepuk pelipisku agar penglihatanku kembali.. #supershortstory

(Part 21): Mataku pun terbuka.. Kembali melihat cahaya dikejauhan.. Namun cahaya itu terlalu menyilaukan.. #supershortstory

(Part 22): Aku membanting stir kekiri.. Ya.. Cahaya itu terlalu menyilaukan.. Tersentak.. Terhenyak.. #supershortstory

(Part 23): Mataku terpejam tuk beberapa waktu. Saat akhirnya kubuka mataku, terlihat samar sebuah mobil berhenti diseberang #supershortstory

(Part 24): Jalanan sepi.. Tak terlihat ada kendaraan lain yang melaju dibawah derasnya hujan malam ini.. Aku terpaku.. #supershortstory

(Part 25): Mobil diseberang masih tak bergerak. Namun suara mesinnya masih terdengar. Beberapa orang terlihat menghampiri.. #supershortstory

(Part 26): Ada apa? Kulangkahkan kakiku mendekat.. Seorang laki-laki terlihat sibuk dengan telepon genggamnya.. #supershortstory

(Part 27): "Ada apa, Pak?" tanyaku.. Laki-laki itu tak menghiraukanku.. Kuberjalan semakin mendekat.. #supershortstory

(Part 28): Aku menghentikan langkahku tepat didepan mobil itu. Dua orang lelaki terlihat menggotong seseorang.. Perempuan.. #supershortstory

(Part 29): Wajahnya berlumur darah.. Perempuan itu.. #supershortstory

(Part 30): "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku sekali lagi.. Namun, sekali lagi, tak ada yang menjawab pertanyaanku.. #supershortstory

(Part 31): Aku pun memilih untuk melanjutkan perjalananku.. Dengan mataku yang terkadang masih berkunang-kunang.. #supershortstory

(Part 31): Beberapa saat kemudian sebuah mobil ambulans datang.. Mungkin mereka memang tidak memerlukan bantuanku.. #supershortstory

(Part 33): Akhirnya aku pun sampai dirumahnya.. Dia.. Hujan masih mengguyur bumi.. Sepertinya acara belum usai.. #supershortstory

(Part 34): Kuberanikan diri melangkahkan kakiku.. Masuk.. Ruangan itu terang sekali.. Memaksaku memicingkan mata.. #supershortstory

(Part 35): Sangat mudah mencarinya dikeramaian seperti ini. Seperti biasa. Dia sedang berbincang, bercanda, dengan mereka.. #supershortstory

(Part 36): Mereka.. Yang menggilainya.. Dia.. Dan akupun hanya berdiri memandangnya dari kejauhan.. Di sudut ruang itu.. #supershortstory

(Part 37): Dia.. Tom.. Yang telah membuatku memberanikan diri sampai disini.. Inilah saatnya.. Saat yang selalu kunanti.. #supershortstory

(Part 38): Beberapa tamu undangan pun berpamitan.. Aku pun semakin berdebar.. Kuberjalan pelan mendekatinya.. #supershortstory

(Part 39): "Tom," panggilku,saat dia sedang mengambil minuman.Dia membalikkan badan.Namun sepertinya dia tak mau menatapku. #supershortstory

(Part 40): "Aku cuma mau ngasi...," belum selesai kumengucapkannya, seseorang memanggil namanya keras-keras. "Tom.. Tom.." #supershortstory

(Part 41): "Mike?" orang itu adalah Mike, teman kecilku, teman dekatnya.. Dia.. "Tom.. Lu harus denger.. Sarah.. Sarah.." #supershortstory

(Part 42): Muka Mike terlihat pucat. Dia menyebut nama Sarah. Sarah? Namaku? Dengan terbata Mike berucap,"Sarah meninggal." #supershortstory

(Part 43): Meninggal? Aku? "Sarah kecelakaan.. Tadi.. Mobilnya ...," Mike tak sanggup lagi melanjutkan.. Tom terpaku.. #supershortstory

(Part 44): "Tom, dengarkan aku.. Dia salah.. Aku, Sarah.. Masih disini..," aku berusaha menenangkannya.. Tapi sia-sia.. #supershortstory

(Part 45): "Tom, ini.. Kutemukan disakunya.." Mike menyodorkan sebuah bungkusan kecil.. Bungkusan itu? #supershortstory

(Part 46): Tom membuka bungkusan kecil itu.. Sebatang cokelat.. Ya.. Sebatang cokelat, dengan sebuah kartu kecil.. #supershortstory

(Part 47): Tom memegang kartu itu.. Kedua matanya berkaca-kaca.. "Tom.. I love you.. Sarah.." #supershortstory

(Part 48): Tom membaca tulisan di kartu itu.. Pelan.. Dipejamkan matanya.. Ya.. Kartu itu.. Ya.. Tulisan itu. Dariku. Aku.. #supershortstory

(Part 49): Jadi.. Perempuan berlumur darah itu aku? Aku? Tidak.. Tidaaak.. Kurasakan tubuhku melayang.. Tinggi.. #supershortstory

(Part 50): Tinggi.. Melayang.. (The End) #supershortstory
 

My Word is Simple Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting